Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Pagi itu, angin di Cianjur berembus lembut. Seolah ikut menyambut kebahagiaan kecil sebuah keluarga muda yang hendak liburan. Kukuh Dinata, kepala desa yang dicintai rakyat karena rendah hati, sedang memasukkan koper ke bagasi Avanza putih mereka. Mia Fatmawati, istrinya tercinta yang juga seorang bidan di puskesmas desa, sibuk menyiapkan bekal untuk anak-anak mereka, Ardi, usia 8 tahun, dan Ziko, 4 tahun, si bungsu yang selalu ngangenin si ayah bila lagi tugas keluar.
"Yah, biar aku nyetir dulu ya," kata Mia sambil tersenyum, mengenakan sabuk pengaman. "Nanti kalau capek, gantian."
Kukuh mencium keningnya. "Iya, Mah. Yang penting hati-hati. Kita mau bikin anak-anak senang, bukan bikin berita di koran."
Ardi dan Ziko bersorak dari kursi belakang. Hari itu mereka akan ke Bekasi, menjenguk keluarga sambil liburan kecil, memanfaatkan libur sekolah. Tidak ada yang tahu bahwa perjalanan itu bukanlah perjalanan pergi, tapi perjalanan pulang ke keabadian.
Jalanan masih lengang saat mereka melewati tikungan-tikungan panjang, ladang yang menghijau, dan perbukitan yang seolah ikut mendoakan. Kukuh menyetel lagu kesukaan mereka, sebuah tembang lawas yang biasa mereka nyanyikan bersama di malam minggu.
Namun, takdir punya cara sendiri untuk menyudahi kisah indah.
Seekor hewan kecil, entah anjing, entah kucing, melintas tiba-tiba. Mia terkejut, membanting setir ke kiri. Mobil oleng, menabrak pohon besar di pinggir jalan. Benturannya keras, seperti gemuruh petir yang membelah dada langit.
Mia meninggal seketika, tangannya masih memegang kemudi. Kukuh, yang mencoba melindungi anak-anak di detik terakhir, meregang nyawa di pangkuan istrinya. Ziko, si bungsu yang baru belajar menyebut "Papa", turut pergi bersama mereka.
Hanya Ardi yang selamat. Luka di keningnya menganga, tapi luka di hatinya jauh lebih dalam. Ia terbangun di puskesmas, dikelilingi wajah-wajah asing yang menangis dalam diam.
"Papa mana?"
"Mama mana?"
"Ziko mana?"
Tak ada yang berani menjawab. Dunia terlalu kejam untuk anak seusianya. Dalam satu tabrakan, Ardi menjadi yatim piatu. Dunianya remuk, hatinya kosong. Di pelupuk matanya, kenangan berputar, suara tawa Papa, dongeng Mama, pelukan Ziko. Semua hilang seperti kabut pagi yang menguap.
Pemakaman mereka sunyi, meski dihadiri ratusan pelayat. Kukuh dan Mia dimakamkan berdampingan, dengan Ziko di antara mereka. Seolah cinta mereka menolak dipisahkan, bahkan oleh maut. Seolah mereka ingin berkata, kami datang bersama, dan kami pulang bersama.
Ardi berdiri di antara gundukan tanah merah, memeluk boneka milik adiknya. Tak menangis. Air matanya sudah habis. Yang tersisa hanya hening dan luka yang akan ia bawa sepanjang hidup.
Langit sore itu mendung, seolah ikut berkabung. Tapi mungkin, di balik awan kelabu, Kukuh dan Mia sedang menggandeng Ziko, berjalan dalam cahaya. Tersenyum, menunggu saat kelak Ardi menyusul, dalam waktu yang panjang dan penuh harapan.
Karena cinta sejati tak mengenal kematian. Ia hanya berpindah tempat. Dari dunia… ke surga.
Kisah tragis Kukuh, Mia, dan Ziko mengajarkan bahwa hidup adalah anugerah yang rapuh, sekejap bisa berubah dari tawa menjadi duka. Betapa sering kita menunda untuk memeluk, mencium, atau mengatakan “aku sayang kamu” pada orang-orang tercinta, seolah waktu akan selalu berpihak. Padahal, hidup tidak pernah menjanjikan pulang yang utuh. Kejadian yang menimpa keluarga kecil itu menampar kita bahwa cinta bukan soal lamanya kebersamaan, tapi seberapa dalam kita menghargai tiap detik yang diberikan bersama mereka.
Dari Ardi, sang anak yang selamat, kita belajar tentang kehilangan paling sunyi, menjadi yatim piatu dalam sekejap, kehilangan tempat berpulang, dan dipaksa dewasa oleh luka. Namun, justru dari luka itu, lahir makna baru tentang ketangguhan. Bahwa cinta tak pernah mati, ia hanya berganti bentuk, menjadi doa, kenangan, dan kekuatan untuk melanjutkan hidup.
Disclamer: Hanya fiksi, bila ada kesamaan hanya kebetulan saja.
Publisher : Krista#camanewak
Komentar0