Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Ini hanya sejarah, untuk dikenang dan dijadikan pelajaran. Ka’bah di Masjidil Haram pernah dibajak oleh orang yang mengaku Imam Mahdi. Seratus lebih jiwa melayang. Siapkan kopi tanpa gulanya, wak! Cerita ini layak untuk kita kenang agar tidak terjadi lagi.
Tahun 1979. Di saat dunia disibukkan dengan warna-warni disko, celana cutbray, dan mimpi indah tentang milenium baru, Arab Saudi malah dilempar ke dalam lubang sejarah paling absurd yang pernah ditulis oleh tangan manusia. Tidak, ini bukan kisah fiksi ilmiah atau potongan dari film Michael Bay. Ini nyata. Ini sejarah. Ini kisah tentang bagaimana Masjidil Haram, tempat paling suci dalam Islam, mendadak berubah dari pusat zikir menjadi panggung horor.
Tanggal 20 November 1979, hari pertama tahun baru Islam 1400 Hijriyah, seharusnya menjadi awal yang suci dan reflektif. Tapi entah setan mana yang berbisik ke telinga Juhaiman al-Utaybi, pria berjanggut tebal dan iman yang terlalu overclock, hingga ia memutuskan untuk membajak Masjidil Haram. Bersama sekitar 200 sampai 500 pengikutnya yang juga percaya bahwa akal sehat adalah bidaah, ia mengumumkan bahwa Imam Mahdi telah tiba. Bukan dari langit. Tapi dari... ruang keluarga. Ya, Muhammad bin Abdullah al-Qahtani, saudara iparnya sendiri, tiba-tiba diproklamirkan sebagai Sang Penyelamat Umat. Hanya karena namanya mirip dengan nubuat. Ini seperti memilih Dajjal dari KTP karena ada huruf “J”.
Pagi itu, usai salat subuh yang tenang, suasana Ka’bah berubah jadi medan perang. Imam Masjidil Haram, Syekh Muhammad bin Subail, bahkan belum sempat minum teh habis salat, ketika mikrofon direbut, pintu-pintu masjid dikunci rapat, dan peluru mulai menari di udara. Mereka tidak main-main. Senjata api dibawa masuk ke masjid suci, dan jangan tanya bagaimana. Mereka menyelundupkannya dalam peti mati. Ya, peti mati. Betapa absurd dunia ini ketika peluru lebih mudah masuk Ka’bah dari opini moderat.
Kerajaan Saudi kalang kabut. Ini bukan demo mahasiswa atau kerusuhan pasar kambing. Ini Ka’bah, titik nol spiritual umat Islam. Mereka tidak bisa asal tembak. Tapi mereka juga tidak bisa duduk manis sambil minum gahwa. Beberapa hari pertama, pasukan keamanan cuma bisa mengepung dan mengelus dada. Situasi makin absurd. Arab Saudi bingung, lalu panik. Lalu bingung lagi. Akhirnya, setelah beberapa hari penuh drama dan ngebut fatwa darurat, mereka menghubungi teman lama, Pasukan Khusus Prancis. Eits, jangan salah, pasukan Prancis harus dikonversi dulu ke Islam secara kilat sebelum masuk masjid. Ya, seolah-olah, “Cepat ucap dua kalimat syahadat, lalu tembak kiri kanan!”
Tepat 4 Desember 1979, operasi militer dimulai. Bukan operasi sembarangan. Ini operasi penuh gas beracun, tembakan, ledakan, dan perjuangan menembus bawah tanah Masjidil Haram, yang ternyata punya lebih banyak lorong dari hati mantan. Dua minggu pengepungan berakhir tragis. Sebanyak 127 orang tewas, 451 terluka, dan suasana spiritual berubah jadi bekas pertempuran. Imam Mahdi palsu pun tewas, mungkin bingung kenapa wahyu tidak datang-datang. Juhaiman ditangkap, lalu dieksekusi bersama 62 pengikutnya pada Januari 1980, mengakhiri petualangan paling kacau dalam sejarah keislaman modern.
Apa dampaknya? Banyak. Kerajaan Saudi langsung banting setir. Musik dikutuk, televisi disensor, ulama diberi megafon dan kewenangan. Polisi syariah naik jabatan dari moral reminder menjadi mini-KGB. Dunia Islam pun terhenyak, lalu pelan-pelan pura-pura lupa, seperti biasanya jika kenyataan terlalu pahit untuk ditelan.
Pengepungan Masjidil Haram tahun 1979 adalah salah satu titik balik penting yang jarang dibahas karena terlalu sensitif, terlalu absurd, dan terlalu memalukan untuk sejarah modern Islam. Namun, justru di sinilah kita melihat bagaimana iman, kekuasaan, dan senjata bisa bikin ledakan sejarah yang menggetarkan Ka’bah itu sendiri.
Sebagai penutup, mari kita renungkan dengan tenang, “Ketika manusia merasa lebih tahu kehendak Tuhan dari Tuhan sendiri, maka sejarah tak hanya berdarah, tapi juga konyol.”
Publisher : Timtas M-Krimsus#camanewak
Komentar0