TSriBSA8GfrlBSClGpMiGpYoGi==

Misteri Arya Daru, Kasus Bundir Paling Sempurna atau Pembunuhan Paling Bersih?

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Awalnya saya tidak tertarik bahas kasus diplomat muda ini. Namun, setiap artikel yang saya post, selalu ada netizen minta, “Bang, bahas kasus Arya, dong!” Bukan sekali, ramai minta demikian. Tergerak juga menguliknya, dan saya coba riset, dan inilah narasinya. Nikmati narasinya sambil seruput kopi tanpa gula agar otak selalu encer dan waras.

Di sebuah kamar kos mewah, di antara lemari IKEA dan sisa mi instan rasa soto banjar, seorang diplomat muda ditemukan tewas. Tewasnya itu dengan metode yang bahkan Bruce Wayne pun enggan gunakan untuk mati. Arya Daru Pangayunan, usia 39, lulusan UGM, ayah dari satu anak, suami teladan, diplomat cerdas, dan pahlawan WNI di luar negeri, memilih (kata polisi) untuk menutup wajahnya sendiri dengan plastik dan melilitkan lakban ke kepalanya, seperti sedang membungkus parcel Lebaran dengan penuh estetika.

Sebagai detektif bayangan yang pernah magang di bawah meja Sherlock Holmes, saya merasa terpanggil untuk menyelidiki kasus ini. Karena bunuh diri ini... terlalu... seni.

Menurut polisi, tidak ada sidik jari lain di TKP selain milik Arya sendiri. Tidak ada racun, tidak ada narkoba, tidak ada tanda kekerasan. Hanya tubuh dengan wajah tertutup plastik, lakban melingkar seperti pita ulang tahun, dan... 103 barang bukti, termasuk alat kontrasepsi dan paracetamol.

Jelas sekali, bukan? Ini pasti bunuh diri! Siapa yang butuh racun kalau ada lakban? Siapa yang perlu pistol kalau bisa memilih gaya mumi urban sebagai jalan menuju akhirat?

Saya yakin, jika Aristoteles hidup di zaman ini, ia akan menulis ulang logika silogismenya,

• Semua manusia bisa depresi.

• Arya adalah manusia.

• Maka Arya pasti menutup wajahnya dengan plastik dan melilit lakban, sendirian, dalam sunyi.

Logika klasik. Elegan. Tragis. Tapi tetap saja, absurd.

"Motifnya apa?" tanya semua orang. Polisi menjawab, ada jejak konsultasi ke layanan emosional di 2013 dan 2021.

Oh tentu. Dua email konsultasi, dalam rentang 12 tahun, jelas membuktikan bahwa Arya merencanakan kematiannya dengan presisi Swiss. Bahkan James Bond pun kalah rapi.

Tapi apakah orang yang hendak bunuh diri menyempatkan belanja alat kontrasepsi dulu? Apakah dia juga pesan bubble tea sebelum melakukan ritual akhir? Lalu ke rooftop Gedung Kemlu dulu sebentar, melihat Jakarta malam, selfie terakhir dengan caption, “Malam terakhir bersama kalian, Jakarta. Love u.” Lalu pulang dan... sruppp! plastik, zreeett! lakban.

Jika benar begitu, Arya bukan hanya diplomat. Ia adalah seniman eksistensial, penulis naskah tragedi paling avant-garde di Asia Tenggara.

Keluarga menolak mentah-mentah kesimpulan bunuh diri. Hotman Paris pun angkat suara, dengan logika, "Mana ada orang yang bisa lakban kepala sendiri tanpa minta bantuan Google atau teman?"

Tapi sayang, hukum di negeri ini lebih percaya CCTV dari intuisi ibu sendiri. Padahal CCTV itu penuh blind spot. Seperti hati para penyelidik yang sudah yakin sebelum menyelidiki.

Sherlock Holmes pernah berkata, "Ketika yang tidak mungkin telah disingkirkan, maka yang tersisa, betapa pun tak masuk akal, adalah kebenaran." Tapi di negeri +62, sebaliknya, ketika kebenaran tak kunjung jelas, mari simpulkan dengan yang paling mudah, bunuh diri sajalah.

Apakah kematian Arya adalah bentuk pembebasan? Protes? Pesan rahasia? Simbol pembungkaman? Ataukah, seperti kata kriminolog UI, “99% bunuh diri, tapi kita sisakan 5% untuk fakta baru.” Matematikanya memang mirip tukang parkir yang suka bohong kembalian.

Mungkin Arya sudah bosan jadi diplomat. Mungkin ia tahu terlalu banyak. Mungkin ia menulis memoar, lalu membakarnya. Atau mungkin... ia hanya ingin tidur tanpa mimpi.

Filsuf Prancis, Albert Camus, menyebut bunuh diri sebagai satu-satunya persoalan filsafat yang serius. Tapi Camus belum pernah melihat laporan investigasi polisi Indonesia. Kalau sudah, dia pasti akan bilang, “Oke, ini sudah bukan filsafat. Ini sarkasme kosmis.”

Kini Arya telah dikuburkan. Polisi bilang masih membuka penyelidikan, tapi kita semua tahu itu adalah kalimat penutup seperti “To be continued…” di film yang tak akan pernah dibuat sekuelnya.

Ponsel Arya belum ditemukan. Tapi jangan khawatir, nanti akan disebut, “Mungkin tercebur got.”

Kematian ini akan masuk buku sejarah sebagai bunuh diri paling rumit, paling rapi, dan paling kreatif dalam sejarah Republik. Kalau ada Olimpiade Bunuh Diri Bergaya, Arya Daru pasti bawa pulang emas, lakban, dan piagam dari panitia dunia absurd.

Selamat jalan, Tuan Arya. Semoga di alam sana Anda tak perlu lagi menutup wajah dengan plastik, cukup dengan senyuman keabadian.

Foto Ai, bukan yang sebenarnya.

Publisher : Krista#camanewak

Komentar0

Type above and press Enter to search.