Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Roy Suryo, dr Tifa sering menyerang Gibran. Sekarang giliran 103 jenderal purnawirawan malah minta Gibran diganti jadi Wapres. Semakin seru, yok kita kupas sambil seruput kopi.
Sinar matahari belum sempat menyapa Istana Wapres, tapi jagat dunia maya sudah membara, seolah langit Jakarta dibelah dua oleh suara 103 jenderal purnawirawan yang turun gunung. Bukan untuk berziarah atau reuni Purnama Camp, melainkan menyerukan agar Gibran Rakabuming Raka angkat kaki dari kursi Wakil Presiden.
Brak! Satu surat terbuka berisi tanda tangan jenderal-jenderal kawakan yang rata-rata sudah lebih dulu hafal peta geopolitik ASEAN dari kita hafal jalan ke Indomaret. Seratus tiga jenderal, wak! Itu kalau dijajar satu baris bisa bikin arak-arakan parade militer level sinetron Korea, epik, dramatis, dan penuh kilas balik.
Mereka bilang demokrasi kita sedang sakit keras, seperti sinyal HP di basement parkiran. Mereka menuding proses pemilu cacat logika karena melibatkan Mahkamah Konstitusi yang (plot twist!) ternyata pamannya Gibran sendiri duduk di dalamnya. Anwar Usman, nama yang kini bisa bikin satu warung kopi mendadak jadi ruang kuliah hukum tata negara.
Tapi, mari kita balik kamera ke tokoh utama, Gibran Rakabuming Raka. Lahir 1 Oktober 1987, putra sulung Presiden Jokowi yang, sejak kecil mungkin sudah terbiasa melihat rapat kabinet lebih sering dari pada kartun P-Man. Pendidikan? Singapura dan Inggris. Gelar sarjana? Cek. Pengalaman politik? Wali Kota Solo, 2021–2024. Usia waktu dilantik Wapres? Tiga puluh tujuh, menjadikannya Wakil Presiden termuda sepanjang sejarah Republik yang kadang suka lupa nyalakan lampu demokrasi ini.
Kiprahnya sebagai pengusaha pun tidak bisa diremehkan. Ia mendirikan Chilli Pari, jasa katering dengan filosofi sederhana, kalau nggak bisa mengubah dunia, minimal bisa ngenyangin tamu seminar. Tapi siapa sangka dari dapur pernikahan bisa melompat ke podium kekuasaan, dan sekarang duduk di kursi nomor dua negara? Yang apabila nomor satu mangkat, ia bisa jadi nomor satu.
Pemilihannya sebagai cawapres, disokong Koalisi Indonesia Maju (KIM), juga bukan perkara sepele. Ini bukan arisan RT. Ini Pilpres. Didukung undang-undang yang, berkat putusan MK, mendadak lentur seperti karet gelang kena panas matahari. Batas usia 40 tahun diubah. Asalkan pernah jadi kepala daerah, kamu bisa nyalon. Dan boom! Gibran memenuhi syarat. Kritikus menyebut ini "politik dinasti", pendukung menyebut ini "politik regenerasi", sementara netizen cuma ngetik, sip, udah fix sinetron Ramadan level nasional.
Pemilu Oktober 2023 pun berlangsung. Prabowo-Gibran menang. Rakyat memilih. KPU sahkan. Pelantikan berlangsung 20 Oktober 2024. Sejarah tercipta. Selfie-selfie bermunculan. Netizen menulis caption, "Gibran vibes, anak muda juga bisa!"
Lalu tiba-tiba, surat terbuka jenderal purnawirawan. Layaknya babak baru dalam telenovela demokrasi, mereka minta Gibran mundur. Argumennya, cacat etik, konstitusionalitas dipertanyakan, demokrasi tercabik. Kalau demokrasi ini orang, mungkin sudah rebahan di UGD dengan infus hak pilih dan oksigen partisipasi publik.
Namun, respons dari pendukung Gibran tak kalah dramatis. Dari influencer sampai nenek-nenek yang baru belajar buka Tiktok, semua menyerukan satu kalimat sakti, "Gibran dipilih secara sah, demokratis, dan sahih menurut KPU!" Bahkan beberapa membandingkan aksi 103 jenderal ini dengan konser nostalgia yang tiketnya dibagikan gratis tapi panggungnya kosong karena rakyat sudah move on.
Gibran sendiri? Tenang. Tak ada pidato. Tak ada air mata. Tak ada drama. Hanya senyuman tipis seperti aktor sinetron senior yang tahu kalau episode ini cuma filler belaka. Ia paham, badai di medsos itu ibarat hujan di musim promo online: datang tiba-tiba, tapi cepat berlalu.
Lalu apa selanjutnya? Apakah 103 jenderal akan kirim surat lagi? Apakah Gibran akan tiba-tiba naik motor trail dan pidato pakai mikrofon dari mushola? Atau kita semua akan lanjut hidup seperti biasa, nonton FYP sambil ngopi liberika?
Yang jelas, drama ini belum tamat. Tapi satu hal pasti, di negeri ini, kadang yang paling keras bersuara bukan yang paling benar, tapi yang paling rajin bikin surat terbuka.
Gibran? Ia tetap di situ, duduk manis di kursi wapres, sambil mikir, “Seratus tiga jenderal, ya? Kira-kira butuh berapa porsi Chilli Pari buat ngademin mereka?”
Publisher : Timtas M-Krimsus.#camanewak
Komentar0