Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Penyakit kronis negeri ini: judi online, korupsi, video porno, dan selalu ada narkoba. Ada badan atau lembaga yang menanganinya, tetap saja penyakit itu semakin akrab di masyarakat. Terbaru, seorang artis terkenal, Fachri Albar harus ditangkap karena narkoba. Karena ini, serius, kopinya expreso, wak!
Kali ini, giliran Fachri Albar. Bukan Ferdinan, bukan Fadlan, bukan Fahri Hamzah. Ditangkap seorang diri di rumahnya di Jakarta Selatan, pada Minggu malam pukul 20.00 WIB. Informasinya disampaikan dengan khidmat oleh Kompol Vernal Armando Sambo. Tidak ada efek slow motion, tapi bisa kita bayangkan dramanya.
“Sendiri,” kata polisi. “Kami mengamankan FA sendiri.” Sampai tiga kali disebut. Seolah-olah kesendiriannya adalah kejahatan tersendiri. Mungkin polisi mau bilang, “Tenang, ini bukan pesta. Ini bukan jaringan internasional. Cuma satu orang. Satu artis. Satu cerita yang sama dari ribuan yang lain.”
Seperti biasa, polisi menemukan narkotika. Tidak dijelaskan jenisnya apa. Tidak disebut seberapa banyak. Hanya disebut “barang bukti sudah kami amankan dan masih dalam tahap pendalaman.” Tahap pendalaman? Seolah-olah narkotikanya harus diajak ngobrol dulu. “Kamu jenis apa, nak? Kenapa kamu masuk rumah ini?” Karena mungkin, di negeri ini, narkoba pun berhak dapat pendekatan persuasif.
Tentu saja berita ini membuat heboh, bukan karena kita kaget, tapi karena kita bosan. Bosan tapi tidak bisa berhenti nonton. Seperti nonton sinetron yang jalan ceritanya sudah ketebak tapi tetap ditonton karena... ya karena tidak ada yang lebih gila dari kenyataan itu sendiri. Artis, narkoba, polisi, rehab, lalu comeback. Ulang dari awal. Cuci ulang. Seperti mesin cuci rusak yang tetap nyala karena belum dicabut kabelnya.
Kemudian, muncul Renata Kusmanto, istri Fachri, menyampaikan rasa syukur karena suaminya diputuskan untuk direhab. Tentu saja direhab. Masa iya dimasukkan ke sel tahanan dengan WC jongkok dan ventilasi jebol? Kita semua tahu, hukum di negeri ini punya sistem kasta tersendiri. Rakyat biasa nyolong sendal, masuk bui tanpa drama. Tapi kalau artis nyabu? Ah, itu urusan hati. Urusan batin. Urusan psikis. Langsung rehab, langsung terapi. Langsung peluk.
Padahal, data dari BNN tidak sedang main-main. Tahun 2022, ada 3,66 juta orang Indonesia yang terjerat penyalahgunaan narkotika. Usia paling rentan? 15 sampai 35 tahun. Usia produktif. Usia yang seharusnya bikin startup, bukan ngisep ganja. Provinsi dengan kasus tertinggi? Jawa Timur, Jakarta, dan Jawa Barat. Bayangkan kalau seluruh pengguna itu berbaris di Monas, bisa bikin pawai nasional dengan tema:,"Masa Depan yang Gelap."
Tapi negara tidak pernah benar-benar panik. Yang mereka lakukan hanya menangkap satu-satu yang viral, yang terkenal. Sisanya? Aman. Tetap hidup di bawah radar. Tetap jualan. Tetap bikin kaya mereka yang di balik layar.
Kita, rakyat penonton setia, terus menyaksikan lakon ini dengan perasaan campur aduk, antara geli, jengah, dan jemu. Karena kita tahu akhir cerita ini tidak akan berubah. Nanti juga Fachri akan muncul lagi. Di talkshow. Di podcast. Di film indie. Dengan mata berkaca-kaca, bilang, “Saya menyesal.” Lalu dapat tepuk tangan.
Kalau hari ini Fachri, besok siapa? Karena selama sistemnya tetap begini, lakon ini akan terus berputar. Seolah-olah negara ini bukan lagi sebuah bangsa, tapi panggung besar tempat tragedi diulang-ulang dan absurd dianggap wajar.
Narkoba sudah jadi semacam ritual tahunan selebritas. Kita semua, seperti biasa, hanya bisa bilang, “Yah, lagi.” Lalu lanjut scroll TikTok.
Punlisher : Timtas M-Krimsus #camanewak
Komentar0