TSriBSA8GfrlBSClGpMiGpYoGi==

“Negeri di Ujung Cawe-Cawe”


Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitorkrimsus.com

Di sebuah negeri tropis yang kini terasa seperti panggung teater Yunani klasik, datanglah serombongan prajurit masa lalu yang bangkit dari lorong waktu. Mereka bukan sekadar purnawirawan, bukan pula mantan pejabat biasa, tetapi para jenderal sakti mandraguna, yang sekali melotot bisa membuat kompas moral demokrasi berputar ke utara. Mereka berkumpul bukan untuk reuni potong tumpeng, bukan pula untuk lomba karaoke lagu "Kehilangan" versi Broery, tetapi untuk mengguncang jagat politik nasional, karena satu nama, satu pasal, dan satu kejanggalan, Gibran Rakabuming Raka.

Ya, Gibran, sang putra mahkota dari Dinasti Solo, kini mendadak jadi simbol semua kegelisahan para patriot senja. Bukan karena dia ganteng seperti oppa Korea, atau karena rambutnya selalu klimis seolah-olah diberkahi minyak zaitun suci dari tanah leluhur. Tapi karena, katanya, dia naik pangkat politik terlalu cepat, seperti main game pakai cheat, langsung dari wali kota ke wakil presiden tanpa harus mengisi password PKPU terlebih dahulu. Duar! Sebuah lompatan politik yang membuat semua hukum tata negara mendadak masuk ICU tanpa BPJS.

Para jenderal, laksamana, dan marsekal yang telah bertapa di Gunung Konstitusi itu, kemudian muncul ke permukaan dalam acara bernama Silaturahmi Purnawirawan TNI dengan Tokoh Masyarakat, sebuah nama yang begitu tenang, padahal isinya menggelegar seperti meteor menghantam gedung KPU. Mereka membacakan delapan pernyataan sikap, tapi yang paling bikin merinding adalah satu tuntutan pamungkas, MPR, tolong ganti Gibran. Sekarang. Juga. Tanpa ba-bi-bu.

Kita yang nonton hanya bisa terdiam. Deg-degan. Seolah ini bukan forum politik, tapi klimaks dari serial anime “Demokrasu Shippuden.” Mayjen (Purn) Sunarko tampil seperti narrator laga epik. Di belakangnya, tertanda: 103 jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel. Kalau mereka bikin orkestra, suara timpani-nya bisa bikin Beethoven bangkit dari kubur dan ikut protes.

Semua ini bermula dari Pasal 169 huruf q, pasal kecil mungil tak berdosa yang tiba-tiba menjelma jadi bom waktu konstitusi. Isinya, konon, memberi celah bagi Gibran dan generasi TikTok lainnya untuk ikut Pilpres asal pernah jadi kepala daerah. Tapi, kata para jenderal, pasal itu diubah secara kayaknya sih ajaib banget, dengan Mahkamah Konstitusi yang lebih mirip panggung sulap dari lembaga hukum. Di balik layar, tudingan demi tudingan dilontarkan, bahwa Pak Presiden sendiri, sang bapak kandung si Gibran, sudah cawe-cawe sampai ke dalam pori-pori pemilu. Bahkan KPU katanya tak ubahnya seperti tokoh figuran yang pasrah ditulis ulang naskahnya oleh tangan tak kasatmata.

Konon, Pak Jokowi tidak hanya cawe-cawe, tapi sudah masuk ke mesin politik, menyetel tombol, dan menekan pedal gas sambil tertawa pelan di malam buta. Para tokoh hukum dikabarkan digandeng, ditarik, bahkan mungkin disandera secara spiritual demi satu tujuan, memastikan putranya duduk manis di singgasana RI-2. Ini bukan sekadar strategi politik. Ini seperti jika serial Game of Thrones disutradarai oleh Komisi Pemilihan Umum.

Tapi para purnawirawan tidak tinggal diam. Mereka bangkit dari ruang tamu masing-masing, melepas sandal, menggulung lengan baju veteran, dan bersatu layaknya Avengers ketika Thanos (baca: MK) menjentikkan jari. Mereka sudah lama diam, katanya. Mereka sudah lama bersabar, katanya. Tapi kesabaran ada batasnya, dan konstitusi bukan barang diskon yang bisa ditawar-tawar di marketplace kekuasaan.

Maka lahirlah tuntutan yang mengguncang bumi. Mereka tidak minta ulang tahun. Tidak minta potongan harga BBM. Mereka cuma minta satu hal, Wakil Presiden terpilih dicopot, diganti, ditarik dari panggung. Dengan alasan hukum. Dengan argumen etika. Mungkin juga, dengan perasaan patriotisme yang telah lama terbakar.

Kini, langit politik mendung. Petir menyambar dari YouTube ke ruang sidang. Istana menunduk, rakyat menggeleng, dan para mahasiswa kembali ke jalan membawa poster bertuliskan, “Kami Nonton, Kami Paham, Tapi Kami Tak Bisa Apa-Apa.”

Begitulah, wak. Negeri ini tak butuh sinetron. Karena realitasnya, jauh lebih absurd.

Publisher : TIMTAS M- Krimsus #camanewak

Komentar0

Type above and press Enter to search.