TSriBSA8GfrlBSClGpMiGpYoGi==

Air Mata Kang Dedi Mulyadi

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitorkrimsus.com

Kang Dedi Mulyadi alias KDM, terus naik daun. Namanya kian bersinar mengalahkan nama-nama beken di negeri ini. Aksi “street justice” benar-benar memukau rakyat. Selesaikan di tempat tanpa harus rapat. Sosoknya tegas, berani. Namun, kali ini, air matanya tiba-tiba membasahi pipinya. Ada apa? Mari simak narasi ini sambil seruput kopi liberika, wak. 

Bandung, 20 Mei 2025. Langit di atas Gedung Sate tampak berat menanggung mendung. Di bawahnya, seorang gubernur tak kuasa menahan air mata. Tangisnya tumpah, lirih namun deras, memeluk dua ratus tujuh puluh tiga pelajar yang baru saja dipulangkan. Mereka kembali dari barak pelatihan militer. Bukan sebagai pahlawan. Bukan sebagai tentara. Tapi, sebagai anak-anak yang katanya sudah “berubah” lebih tertib, lebih sopan, lebih diam.

Mereka dikirim ke Dodik Bela Negara, Lembang, selama dua pekan. Ini demi sebuah proyek bernama “pendidikan karakter.” Sebuah istilah indah yang membungkus trauma. Mereka disebut remaja bermasalah. Maka, dari pada diajak bicara, dipahami, atau dibimbing dengan kasih, mereka diserahkan pada pelatih militer. Dalam udara dingin pegunungan, mereka dididik bukan untuk berpikir, tapi untuk taat.

Dedi Mulyadi menangis. Bukan sekadar haru, tapi tangis penuh beban. “Ya gimana, ini kan urusan rasa, urusan cinta,” katanya pelan, seperti seseorang yang baru menyadari bahwa cinta bisa hadir dalam bentuk yang keliru. Tangisnya pecah setelah melihat anak-anak itu selesai parade di Lapangan Gasibu, lalu berbaris masuk pelukan orangtua. Seolah yang kembali itu bukan anak-anak mereka, tapi versi baru dari mereka, yang telah dikembalikan dalam paket disiplin dan diam.

Orangtua menangis. Anak-anak menunduk. Negeri ini, untuk sesaat, merasa berhasil. Bukankah air mata itu tanda perubahan? Bukankah pelukan itu bukti program ini menyentuh sisi kemanusiaan? Tapi siapa yang tahu isi hati anak-anak itu? Apakah mereka menangis karena haru, atau karena akhirnya bebas? Apakah perubahan itu tumbuh dari pengertian, atau dari ketakutan?

Kita terlalu cepat puas pada pemandangan yang terlihat teratur. Terlalu mudah menyebutnya “cinta negara”, padahal mungkin itu bentuk cinta yang tak mengerti bagaimana menyentuh jiwa anak-anak. Di saat bangsa lain membangun karakter lewat seni, sastra, dan empati, kita justru melakukannya lewat push-up dan alarm subuh.

Dedi bicara tentang waktu yang akan membuktikan hasil. Tapi apakah waktu akan benar-benar menyembuhkan luka yang tak terlihat? Apakah kelak anak-anak ini akan mengenang dua pekan itu sebagai pengalaman berharga, atau sebagai bagian hidup yang ingin mereka lupakan?

Hari Kebangkitan Nasional itu ditutup dengan tangisan. Tangisan pemimpin. Tangisan orangtua. Tapi tidak ada yang tahu tangisan anak-anak itu akan keluar kapan. Mungkin malam ini, mungkin bertahun-tahun lagi, saat mereka sadar bahwa karakter bukan sekadar hasil dari barak, tapi dari kehadiran kasih sayang yang utuh.

Mereka pulang hari itu. Dengan langkah tegap tapi mata yang kosong. Dengan sikap baru tapi hati yang entah masih sama atau tidak. Negeri ini mengembalikan mereka sebagai “anak-anak baik.” Tapi mungkin, dalam diam mereka bertanya, apakah kebaikan harus diajarkan lewat ketakutan?

Selamat datang kembali, anak-anak. Semoga kalian tetap manusia. Meski telah melewati barak. Meski telah dididik untuk diam. Meski telah dipeluk oleh negara dalam bentuk pelatihan. Semoga kalian masih punya mimpi, masih punya suara, masih punya hati. Jika suatu hari kalian menangis tanpa tahu sebabnya, ingatlah dua pekan itu. Sebab mungkin, kalian tidak sedang menangis sebagai diri sendiri, tapi sebagai simbol dari generasi yang dicintai secara keliru.

Semoga tangisan hari ini bukan akhir dari harapan. Tapi awal dari kesadaran. Selamat Hari Kebangkitan Nasional. Bangkitlah. Tapi jangan lupa, jangan pernah lupakan bagaimana caranya menjadi manusia.

Publisher : Timtas M-Krimsus#camanewak

Komentar0

Type above and press Enter to search.