PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Pilkada dan Pilpres tak bisa dipisahkan dari money politic. Seperti kentut, tak bisa dilihat tapi bau jengkol. Tak selamanya money politic merajalela. Kali ini kalah telak oleh MK. Seluruh pasangan calon dibatalkan. Mari kita dalami, gimane ceritenya lembaran biru dan merah itu bisa dikalahkan? Siapkan kopi dan pisang gorengnya, karena narasi ini bisa menciptakan harapan baru bahwa demokrasi belum mati.
Barito Utara, sebuah kabupaten yang dulunya tenang dan damai, kini menjelma jadi panggung teater absurd demokrasi. Paling bobrok dan hancur. Bukan karena curah hujan tinggi atau harga cabai naik, tapi karena Pilkada mereka pecah rekor MURI dalam kategori “Politik Uang Termahal Sejagat Raya”.
Bayangkan, wak! Satu suara dihargai Rp16 juta, bahkan tembus Rp25 juta per orang. Itu baru uang tunai. Belum termasuk janji-janji surgawi seperti umrah gratis asal pasangan tertentu menang. Kalau saja sistem barter masih berlaku, mungkin ada yang tukar suara dengan satu ekor sapi, dua batang emas, dan sebidang tanah.
Tak heran Mahkamah Konstitusi akhirnya marah besar dan menekan tombol "end game". Semua pasangan calon langsung didiskualifikasi. Tak ada ampun. MK seperti guru BP yang menangkap satu kelas nyontek berjamaah, lalu memberi hukuman: “Kalian semua DO, pulang aja, bikin pemilu ulang, dan tolong jangan gila lagi.”
Yang lebih membuat rakyat tercengang, ini bukan politik uang recehan. Kalau hanya Rp50 ribu, Rp100 ribu, atau selembar merah bergambar I Gusti Ngurah Rai, itu biasa, itu tradisi, itu lokalitas. Tapi kalau sudah belasan sampai puluhan juta per suara, itu bukan politik uang, itu politik sultan, politik oligarki super sayang rakyat, sayang dengan duit.
Lalu muncul pertanyaan filosofis dari masyarakat awam sampai dosen filsafat kampus swasta, "Barito Utara ini sebenarnya kaya dari mana sih?"
Jawabannya ternyata tidak seabsurd perilaku politiknya. Tahun 2024, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Barito Utara mencapai Rp108,4 miliar, melampaui target 102%. Sumbernya dari pajak daerah, retribusi, hingga pengelolaan kekayaan daerah. Lalu ada Dana Perimbangan dari pusat, lengkap dengan DAU dan DAK. Tapi kunci utama kekayaan Barito terletak di jantungnya: pertambangan batu bara. Hitam, keras, berharga. Batu bara di sana bukan lagi komoditas, tapi bahan bakar utama pesta demokrasi.
Ditambah lagi dari sektor Pajak Sarang Burung Walet dan retribusi wisata seperti Air Terjun Jantur Doyam. Mungkin nanti nama air terjun itu perlu diubah jadi Air Terjun Dana Kampanye, demi menghormati sejarah kontestasi ini.
MK memberi waktu 90 hari untuk pemungutan suara ulang dengan pasangan calon baru. Harapan baru? Mungkin. Tapi trauma lama masih terngiang. Rakyat kini bingung, kalau kemarin dikasih 25 juta, masa yang baru nanti cuma kasih stiker dan kaus? Ini bukan turun derajat, ini penghinaan emosional. Seorang ibu rumah tangga bahkan berkata lirih, “Kalau sekarang cuma dikasih 100 ribu, lebih baik saya jual suara saya ke Shopee, siapa tahu ada cashback.”
Akhirnya, Barito Utara menjadi refleksi paling absurd dari demokrasi Indonesia. Demokrasi di sana bukan lagi soal suara rakyat, tapi soal harga pasar suara. Logika jadi korban pertama, etika mati dibungkus amplop cokelat, dan keadilan diiming-imingi naik haji.
Sementara kita? Kita hanya bisa tertawa getir. Namun, demokrasi masih ada harapan. Dengan kalahnya money politic, hati nurani masih bisa dijadikan andalan kampanye. Dari kasus ini juga peran Bawaslu perlu diperkuat lagi. Tidak hanya sekadar menerima laporan saja, melainkan bisa menangkap pelaku money politic. Ya, mirip senjata andalan KPK, OTT.
Money politic memang sudah menjadi budaya. Sangat sulit dihilangkan. Bukan berarti tak bisa dilawan. MK sudah membuktikan, pemain "siram uang" bisa didiskualifikasi. Dari sini kita berangkat, money politic bisa dicegah, dilawan, dan dikalahkan. Masih ada harapan, wak!
Publisher : Timtas M-Krimsus#camanewak
Komentar0