Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena KalbarPONTIANAK // Monitorkrimsus.com
PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Dua hari ini, kisah artis. Anggap saja selingan di tengah panasnya isu Ijazah Jokowi. Artis yang memakai hijab, dan tentu artis yang melepaskan kain penutup kepala itu. Ada satu artis yang sudah lama tak tampil di layar kaca, tiba-tiba muncul di Cannes Perancis. Siapkan kopinya, wak!
Syahrini, tiba-tiba melangkah di karpet merah Festival Film Cannes 2025. Ia memakai gaun burgundy berhijab. Dunia tak hanya melihat fashion, tapi juga tafsir eksistensial yang lebih dalam dari lubang jarum. Inilah hijab, bukan sebagai simbol kesederhanaan, tapi sebagai manifestasi spiritual yang dipoles dengan highlighter, dibalut satin, dan ditaburi payet dalam nama glamor.
Sementara Vitalia Sesha memutuskan berhijab dan Olla Ramlan membuka hijab, Syahrini melayang di level metaverse, hijab yang tidak hanya menutup aurat, tapi juga membungkus privilege. Ini bukan hijab dari Madinah, ini hijab dari Paris Fashion Week, lahir dari rahim selebgram dan diasuh oleh fashion stylist bergelar Hijab Enthusiast. Kalau hijab adalah bentuk kesalehan, maka Syahrini membuktikan bahwa kesalehan itu bisa datang naik private jet, bersanding dengan caviar, dan diberi hashtag sebelum azan subuh.
Lalu, datanglah kontroversi. Katanya, tiket karpet merah Cannes bisa dibeli. Harga? Hanya 8.950 Euro. Murah jika dibandingkan dengan harga ketenaran. Tapi publik gaduh, sebab mereka mengira Syahrini diundang resmi, dikalungi kehormatan langsung oleh aktris Prancis sambil mendengarkan live performance Edith Piaf. Padahal, bisa jadi Syahrini hanya beli tiket, selfie, lalu pulang. Tapi, hei! Bukankah banyak orang juga “membeli” citra kesalehan? Pamer hijrah pakai sorban Gucci, ceramah sambil endorse vitamin.
Masalahnya, publik tak pernah siap dengan hijab yang terlalu mewah. Karena hijab, dalam benak banyak orang, harus tampil sederhana, bersih dari lensa kamera dan cahaya sorot. Tapi Syahrini justru memilih memproyeksikan imannya lewat headpiece kristal dan dress dengan ekor sepanjang jalan tol. Ada yang marah, ada yang bingung, tapi tak sedikit pula yang tak bisa berhenti melihat. Karena inilah zaman ketika doa bisa tampil sparkling dan iman diberi filter Paris.
Filsafat hijab pun jadi carut-marut. Apakah hijab itu untuk menutupi, atau justru untuk menarik perhatian? Syahrini menjawabnya dengan aksi diam berbalut payet dan konten slow motion. Karena ketika ditanya, “Untuk siapa kau berhijab?” ia mungkin menjawab, “Untuk UNESCO dan juga demi engagement rate.” Di titik ini, Kant dan Imam Syafi’i mungkin akan berdiskusi keras soal niat dalam balutan Chanel.
Kemudian, seperti sebuah epilog yang dirancang oleh humas surgawi, Syahrini makan malam dengan Angelina Jolie. Bukan di warteg, tapi di gala dinner eksklusif. Dengan veil bermahkota, tentu saja. Karena jika Nabi Yusuf diuji dengan godaan Zulaikha, Syahrini diuji dengan komentar netizen. Semua ujian itu dia hadapi dengan sepatu hak tinggi dan inner beauty yang disponsori skincare Korea.
Maka kita sebagai manusia akhir zaman hanya bisa merenung, mungkin ini saatnya kita menulis ulang kitab-kitab lama. Bahwa hijab bisa menjadi ladang dakwah, ladang cuan, ladang gaya, bahkan ladang pertentangan filsafat. Bahwa ada tafsir baru tentang menutup aurat, yaitu menutup seluruh komentar negatif dengan kemewahan dan sparkle.
Karena hari ini, Syahrini tidak hanya berhijab. Dia menghijabkan seluruh Cannes dari kebosanan. Bisa dikatakan Hijab Syahrini adalah bentuk syiar paling mahal abad ini. Padahal, Prancis sedikit “alergi” soal hijab. Dalam Olimpiade Paris 2024, atlet Prancis dilarang mengenakan hijab saat bertanding, meskipun atlet dari negara lain diperbolehkan mengenakannya. Kebijakan ini merupakan bagian dari prinsip laïcité (sekularisme) yang diterapkan di institusi publik Prancis.
Mudahan saja, dengan tampilnya istri dari Reino Barack ini membuat warga Perancis welcome dengan hijab. Sama halnya warga Korea Selatan, enjoy menerima Megawati Hangestri Pertiwi di turnamen bola voli.
Sumber foto: msn.com
Publisher : Timtas M-Krimsus#camanewak
Komentar0