TSriBSA8GfrlBSClGpMiGpYoGi==

Indonesia Mendadak Kaya, Prabowo Tertawa

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitorkrimsus.com

Ini cerita bagus dan gembira buat kita, wak! Ngopi pun terasa nikmat walau pahit. Selama ini, nggaran selalu defisit, biasa dan bosan. Nah, tiba-tiba Menteri Keuangan mengumumkan, APBN surplus. Prabowo pasti suka dan tertawa. Efisiensi sukses. Sambil menunggu pengukuhan guru besar di Audit Untan, mari kita dalami info menggembirakan ini.

April 2025. Tercatat dalam sejarah sebagai momen langka ketika langit fiskal Indonesia cerah ceria, pelangi menggantung di atas gedung Kementerian Keuangan, dan unicorn-unicorn makroekonomi berlarian di angkasa. Iya, Indonesia mendadak kaya. Bukan karena menang undian IMF, tapi karena satu kata sakti, surplus. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang biasanya selalu defisit, seperti diet gagal tiap Januari, tiba-tiba menyisakan duit Rp4,3 triliun. Lebih gilanya lagi, posisi kas negara pun kelebihan duit sebesar Rp283,6 triliun. Negara kita seolah bilang ke dunia, “Lihat, aku bisa hemat juga, kok!”

Tapi jangan buru-buru bahagia, karena ini bukan sinetron religi yang diakhiri hujan rahmat. Mari kita kuliti dulu sumber surplus ini. Pendapatan negara tercatat Rp810,5 triliun. Sementara belanja negara hanya Rp806,2 triliun. Selisihnya? Ya tadi itu, Rp4,3 triliun. Tapi jangan dibayangkan ini seperti orang sukses dagang online. Karena sebenarnya penerimaan pajak turun 10,8% dibanding April tahun lalu. Dari Rp624,2 triliun, kini hanya Rp557,1 triliun. Negara ini kayak tetangga yang bilang “gaji gue naik” padahal sebenarnya cicilan turun.

Lalu dari mana datangnya kekayaan negara ini? Salah satu jawabannya, karena belanja dikurangin habis-habisan. Belanja Kementerian dan Lembaga misalnya, tumbang 16,6%. Ini berarti negara hemat sampai ke titik absurd. Mungkin rapat-rapat menteri kini diadakan di warung kopi sambil ngutang gorengan. Bahkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga ikut terjun bebas, dari Rp203,6 triliun menjadi Rp153,3 triliun, urun 24,7%. Ini salah satunya karena dividen BUMN dialihkan ke BPI Danantara, sebuah entitas yang lebih misterius dari keberadaan jin pengelola utang negara. Kita tak tahu pasti, tapi katanya penting. Kalau negara bilang penting, maka rakyat hanya bisa manggut-manggut dalam ketidaktahuan yang anggun.

Tapi ada juga yang naik, biar tidak semua bernada sedih. Penerimaan dari kepabeanan dan cukai naik 4,4% YoY, mencapai Rp100 triliun. Mungkin karena rakyat makin rajin beli barang impor legal ketimbang nyelundupin dari marketplace gelap. Atau karena rokok makin mahal, tapi tetap laris karena stres hidup belum bisa diimpor ke luar negeri.

Namun yang paling filosofis dari semua ini adalah, kenapa rakyat tetap merasa miskin padahal negara surplus? Inilah pertanyaan esensial yang tak bisa dijawab dengan angka. Sama seperti pertanyaan, “Kenapa kita mencintai orang yang tidak membalas?” Karena ada jurang eksistensial antara data makro dan nasi goreng di meja. Surplus tidak otomatis berarti makmur, seperti gaji besar tak selalu berarti bahagia, apalagi kalau cicilan rumah, motor, dan pinjol jalan bareng tiap tanggal 25.

Pemerintah bilang ini pertanda APBN sedang jadi shock absorber ekonomi. Tapi buat rakyat kecil, shock-nya tetap di Indomaret saat melihat harga tisu basah naik dua kali lipat. Pemerintah juga bilang ini bagian dari transisi menuju kedaulatan pangan, energi, dan ekonomi. Tapi apakah itu berarti kita akan berhenti ngimpor gandum? Atau akan tiba saatnya semua orang bisa beli rumah tanpa jual ginjal?

Di sinilah letak keagungan satire ekonomi kita. Negara berhasil surplus, tapi rakyat tetap hidup dengan perasaan “berhasil bertahan hidup.” Ini bukan kegagalan, bukan pula kebodohan. Ini epik. Ini elegi. Ini Indonesia. Di mana angka-angka melonjak ke langit, tapi kita tetap hemat kuota dan sedekah senyum ke dompet kosong.

Publisher : Timtas M-Krimsus#camanewak

Komentar0

Type above and press Enter to search.