Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Nama Letnan Jenderal TNI Kunto Arief Wibowo sedang ramai dibicarakan. Awalnya saya tidak tahu. Asli. Seiring heboh berita pembatalan SK mutasi oleh Mabes, nama Letjend Kunto melejit. Agar tidak penasaran, mari kita berkenalan dengan anak kandung Tri Sutrisno ini, tentu sambil seruput kopi lagi.
Saat lahir di Malang, Jawa Timur, pada 15 Maret 1971, bumi seolah tahu bahwa yang lahir ini bukan anak biasa. Ia bukan bocah yang akan tumbuh menjadi tukang tambal ban atau YouTuber prank, melainkan kelak akan memimpin pasukan dengan sorot mata yang tajam dan jiwa yang teduh. Ia dididik bukan hanya oleh sekolah, tapi oleh darah yang mengalir dari sang ayah, Jenderal (Purn) Try Sutrisno, mantan Wakil Presiden RI dan tokoh militer legendaris yang jika bicara, gema suaranya masih bisa membuat tiang bendera bergetar.
Sejak menamatkan Akademi Militer tahun 1992, Kunto muda sudah seperti pasukan elit dalam wujud satu orang. Ia tidak hanya tahu teori perang, tapi juga tahu kapan harus tersenyum kepada rakyat, dan kapan harus menatap tajam ke musuh negara. Ia menguasai kecabangan Infanteri, dan bukan infanteri biasa, tapi Raider, pasukan petarung elit, sekelas ninja republik tapi berseragam resmi.
Karier militernya adalah barisan bintang yang tidak diletakkan di langit, melainkan di seragamnya. Dari Komandan Korem 032/Wirabraja di Sumatera Barat, hingga Komandan Korem 044/Garuda Dempo di Sumatera Selatan, ia menembus pulau dan komando seperti pemain bola menembus pertahanan lawan. Setelahnya, ia dipercaya menjadi Kepala Staf Kodam III/Siliwangi, lalu Panglima Divisi Infanteri 3/Kostrad. Belum selesai kagum? Tunggu dulu. Ia kemudian menjabat sebagai Pangdam III/Siliwangi, Wakil Komandan Kodiklat TNI AD, dan terakhir, sebagai Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I (Pangkogabwilhan I), posisi yang cukup prestisius untuk membuat siapa pun berkeringat hanya mendengarnya.
Namun, kisah ini tidak akan dramatis jika tak ada lika-liku. Pada April 2025, muncul kabar mutasi besar-besaran dari Panglima TNI. Kunto disebut akan diangkat menjadi Staf Khusus KSAD. Tapi seperti plot twist film perang, mutasi itu “dibatalkan”. Alasannya? Penyesuaian organisasi. Tapi publik, yang suka drama lebih dari kenyataan, mulai bergunjing. Apakah ini karena sang ayah mendukung isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran? Apakah ini skenario “House of Cards” versi Mabes TNI?
Tapi TNI tegas menjawab, tidak ada tekanan politik, ini murni urusan organisasi. Tetap saja, kekecewaan publik terdengar sampai ke hutan Kalimantan. Karena publik tahu, menempatkan Kunto sebagai staf khusus adalah seperti menyuruh Singa jadi penjaga kandang ayam. Tidak cocok. Terlalu besar, terlalu kuat, terlalu berharga untuk duduk diam di kursi istimewa tanpa aksi nyata.
Di balik segala itu, ada satu hal yang tak pernah luntur, karakter Letjen Kunto. Humanis. Tegas. Dekat dengan prajurit. Ia tidak hanya memimpin dari atas menara gading, tapi turun langsung, menyentuh tanah, menyapa rakyat, dan sesekali mengatur pasukannya dengan gaya yang membuat anak-anak kecil ingin mendaftar TNI lebih cepat dari usia sekolah. Ia aktif dalam kegiatan sosial, peduli lingkungan, dan punya aura bapak-bapak penyelamat bangsa yang bisa bikin emak-emak rela ditilang demi ketemu.
Di sepanjang kariernya, ia sudah mengoleksi berderet penghargaan. Tapi sejujurnya, dunia belum punya medali yang cukup besar untuk menampung integritasnya. Ia bukan hanya pemegang pangkat. Ia adalah simbol kepercayaan. Di saat bangsa ini ragu kepada elite, Letjen Kunto adalah oasis kejujuran yang masih bisa dipercaya.
Jika sejarah punya selera humor dan rasa bangga, maka ia akan menulis nama Letjen TNI Kunto Arief Wibowo dengan tinta emas, lalu membingkainya di ruang kenangan bangsa. Karena di tengah dunia yang makin sinis, Letjen Kunto hadir seperti matahari yang bersinar tanpa butuh tepuk tangan. Ia tidak mengejar cahaya, karena ia sendiri sudah menjadi terang.
Publisher : Timtas M-Krimsus#camanewak
Komentar0