TSriBSA8GfrlBSClGpMiGpYoGi==

Sebuah Tragedi Pencari Kerja, 2.517 Lowongan Pelamar 25 Ribu

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitor86.com

Saya cerita sedikit. Pernah tinggal di Bekasi. Pernah ikut Kursus Latihan Kerja (KLK) kelas welding. Enam bulan. Habis itu disalurkan magang ke perusahaan. Waktu itu magang perusahaan Amrik, Caterpillar. Lalu, kerja di perusahaan pembuatan kaki kontainer milik Korea di Kawasan Industri Cikarang. Model penyaluran kerja seperti itu, dulu. Ya, itu dulu di Bekasi.

Sekarang, jauh berbeda. Seperti yang terjadi di Bekasi, 27 Mei 2025. Digelar Job Fair Bekasi 2025 menghadirkan 25.000 pencari kerja. Mereka membawa map merah berisi ijazah, CV, transkrip nilai, sertifikat pelatihan. Mereka datang untuk memperebutkan 2.517 lowongan. Ya, 2.517, angka yang terlalu kecil untuk mimpi sebanyak itu.

Mereka datang dari berbagai sudut kota, dari rumah-rumah kontrakan yang lantainya retak dan dindingnya lembab, dari kos-kosan sempit yang disulap jadi kantor impian sementara. Anak-anak muda itu berdandan rapi, menyemprot parfum murah, menggosok sepatu dengan semangat yang entah datang dari mana. Mereka adalah korban dari janji-janji pendidikan: bahwa jika kamu sekolah tinggi, kamu pasti dapat kerja. Kini, di lapangan yang penuh debu dan keringat, mereka diuji oleh kenyataan yang lebih pahit dari kopi sachet lima ratusan.

Kericuhan terjadi ketika panitia menempelkan selembar pamflet dengan QR code pendaftaran. Hanya satu. Satu QR code, untuk 25 ribu orang. Ketika ribuan tangan mengangkat ponsel, ribuan tubuh saling dorong, saling tindih, saling teriak, di sanalah manusia tidak lagi bersaudara, melainkan pesaing dalam perlombaan yang terlalu sempit untuk semua. Beberapa jatuh, satu dua pingsan, banyak yang menangis diam-diam karena gagal memindai kode. Bukan karena tak bisa kerja, tapi karena sinyal tidak bersahabat.

Seorang ibu membawa anaknya yang masih balita, berharap bisa mendapat kerja demi susu anaknya bulan depan. Ia berdiri sejak pukul lima pagi, dan ketika akhirnya bisa dekat dengan pamflet QR itu, baterai ponselnya habis. Ia terduduk di bawah pohon, menunduk, memeluk anaknya erat-erat. “Saya cuma mau kerja, mas,” katanya lirih kepada seorang relawan yang lewat. Tak ada kamera yang menyorotnya. Tak ada pidato yang menyebutnya. Ia adalah angka statistik yang terlalu kecil untuk dibahas.

Bupati Bekasi, Ade Kuswara Kunang, datang ke lokasi dengan rompi dan senyum diplomatis. Ia berkata bahwa antusiasme ini “menjadi beban moral” dan berjanji membuka kloter tambahan. Tapi bagi ribuan pencari kerja yang hari itu pulang dengan telapak kaki melepuh dan dada kosong, beban moral tidak bisa dibelanjakan. Janji tidak bisa diseduh menjadi sarapan.

Sebagian besar pencari kerja adalah lulusan baru, fresh graduate yang sebelumnya menulis skripsi dengan harapan besar, kini menulis ulang CV dengan keputusasaan yang tak terucap. Mereka berharap bekerja di perusahaan multinasional, tapi bahkan perusahaan lokal pun menolak tanpa melihat isi lamaran. Harapan gaji yang layak pupus saat membaca lowongan bertuliskan “pengalaman 2 tahun, gaji UMK, siap lembur tanpa tambahan.”

Di tempat itu, kerja bukan lagi cita-cita. Ia menjadi kebutuhan biologis, menjadi pelampung di tengah lautan krisis. Tidak ada yang ingin sukses besar, mereka hanya ingin bertahan. Ingin punya cukup uang untuk makan tiga kali sehari tanpa harus mengutang. Tapi di negeri ini, bertahan hidup pun menjadi sebuah pertarungan berdarah.

Pada akhirnya, Job Fair Bekasi 2025 bukan tentang kesempatan. Ia tentang luka kolektif yang disusun rapi. Tentang manusia-manusia baik yang dipaksa bersaing seperti makhluk lain, berebut peluang yang tak pernah cukup. Ini bukan sekadar job fair. Ini adalah ratapan sunyi generasi yang dijanjikan masa depan, tapi hanya diberi antrean dan QR code yang tak pernah selesai di-scan.

Publisher : Timnas M-Krimsus#camanewak

Komentar0

Type above and press Enter to search.