TSriBSA8GfrlBSClGpMiGpYoGi==

Setelah Bali, Kalbar pun Menolak GRIP Jaya

Oleh : Rosadi Jaman Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitorkrimsus.com

Saya tak tahu dosa apa dengan GRIP Jaya. Setelah Bali menolak, rupanya Kalbar pun tak mau ketinggalan. Penolakan disampaikan secara terbuka oleh Wagub Kalbar, Krisantus. Sambil mendengarkan orasi para guru besar Untan, mari kita ungkap alasan penolakan orang nomor dua di Bumi Khatulistiwa itu. 

Langit Kalbar tampak begitu bersahaja. Biru memantul di daun pinang, angin menari di balik ukiran Dayak, dan Rumah Radakng berdiri gagah bak istana budaya. Pekan Gawai Dayak ke-39 sedang mencapai klimaksnya, gendang ditabuh seolah memanggil roh nenek moyang, bulu burung enggang melambai di kepala para penari, dan aroma babi panggang mengambang di udara seperti janji kampanye yang (mungkin) ditepati.

Tapi tiba-tiba, suasana sakral itu disambar oleh suara mikrofon podium. Bukan petir, bukan gong sakti, tapi suara Wagub Kalbar, Krisantus Kurniawan. Tegas. Menggelegar. Seperti sabda dewa lokal yang baru turun gunung setelah bermeditasi dengan sinyal 5G.

"Tidak ada tempat bagi ormas kelompok manapun yang berpotensi memicu ketentraman di Kalbar!”

Gema suara itu tak hanya memecah ruang Rumah Radakng. Ia menembus hutan-hutan, merambat ke sungai Kapuas, lalu kembali sebagai gelombang suara yang menyeret satu nama ke permukaan, GRIB Jaya.

GRIB, alias Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu, belakangan santer diberitakan hendak masuk ke Kalbar. Tapi Krisantus, dengan gaya Julius Caesar versi Dayak, langsung menutup pintu sebelum jendela dibuka.

"Saya ulangi, tidak ada tempat untuk GRIB di Kalbar.”

Sekali lagi, dua kali tembak. Tidak pakai peringatan. Tidak pakai mediasi. Bahkan Kesbangpol Kalbar, katanya, sudah ia instruksikan jangan buka komunikasi, jangankan pertemuan, senyum pun jangan!

Krisantus berbicara bukan seperti politisi. Ia bicara seperti kepala suku yang baru melihat tanda langit buruk, lalu langsung lempar tombak ke awan.

"Kalau hanya membawa keresahan, untuk apa diberi panggung?”

Kalimat itu tidak lahir dari pidato yang diketik staf khusus, tapi dari kepedihan sejarah panjang masyarakat Kalbar yang pernah dicabik konflik horizontal. Dari masa di mana identitas jadi amunisi, dan provokator berseliweran seperti nyamuk menjelang musim hujan.

GRIB Jaya, menurut berbagai catatan, memang tak jarang dikaitkan dengan keributan di berbagai daerah. Maka langkah Krisantus bukan reaktif, tapi preventif penuh cita rasa cendekia lokal. Ia bahkan menggandeng TNI dan Polri agar bersiaga. Kalbar bukan taman bermain. Ini tanah adat. Tanah hormat. Tanah di mana perdamaian bukan sekadar harapan, tapi warisan.

Di bawah atap Rumah Radakng, di antara denting sape dan riuh tepuk tangan, pidato sang Wagub justru menjadi highlight of the day. Di antara lenggokanpenari Dayak, suara itu jadi irama tersendiri. Tak heran jika beberapa penonton hampir berdiri sambil berteriak, “Hidup keamanan regional!”

Masyarakat adat yang hadir pun tampak mengangguk, bukan hanya karena setuju, tapi karena mereka tahu, suara Krisantus hari itu bukan sekadar pidato, tapi mantra pengusir bala. Sebuah benteng spiritual bernama “ketegasan politik”.

Langit Kalbar tetap cerah hingga malam. Bukan karena cuaca, tapi karena hari itu, budaya berjaya, dan premanisme gagal masuk, tergelincir di tangga Rumah Radakng, lalu terjun bebas ke jurang kenangan yang tak perlu dikenang.

Publisher : Timtas M-Krimsus#Camanewak

Komentar0

Type above and press Enter to search.