Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Ketika Plato berbicara tentang keadilan, ia mungkin tidak membayangkan bahwa ribuan tahun kemudian, sebuah negara demokratis akan menggantungkan stabilitas ekonominya pada selembar kertas bernama ijazah. Bukan ijazah S2 filsafat hukum, bukan pula ijazah dukun kebal peluru, tapi ijazah S1 yang katanya milik seorang presiden. Hebat, bukan? Kalau Sokrates hidup hari ini, ia mungkin akan menenggak racunnya lagi sambil tertawa.
22 Mei 2025, di Pengadilan Negeri Sleman, aroma keadilan dan kopi sachet bercampur di ruang sidang yang dijejali awak media, aktivis, serta para pencinta teori konspirasi. Tapi seperti sinetron yang bosan dengan alur, drama ini kembali ditunda. Penyebabnya sungguh epik, pihak ketiga ingin ikut sidang, tapi masih sibuk mengisi formulir dan mencari materai. Negara hukum, katanya. Tapi sering kali lebih mirip negara formulir.
Ir. Komardin, tokoh utama drama ini, dengan semangat advokat bercita rasa rakyat kecil, menggugat para petinggi Universitas Gadjah Mada. Tuntutannya tidak tanggung-tanggung. Ia meminta daftar mahasiswa Fakultas Kehutanan tahun 1979/1980, data dosen, hingga skripsi Joko Widodo, semuanya diminta seolah sedang mengaudit masa lalu dengan mesin waktu. Tidak berhenti di situ. Ia menuntut ganti rugi Rp69 triliun secara materiil dan Rp1.000 triliun secara imateriil, atas kegaduhan nasional yang ditimbulkan oleh satu lembar ijazah. Seribu triliun, Wak. Angka yang hanya bisa dimengerti oleh Thanos, Elon Musk, atau bendahara akhirat.
Komardin bersikeras bahwa polemik ijazah telah memperlemah kurs rupiah, meningkatkan ketidakpastian global, hingga mengancam eksistensi ekonomi nasional. Ia menuding ijazah ini sebagai penyebab utama mengapa utang negara tahun 2025 mencapai Rp800,33 triliun. Semua karena selembar kertas. Kalau logika ini dipakai ke seluruh aspek kehidupan, mungkin nilai Ujian Nasional anak SD juga bisa memicu resesi.
Namun, di tengah euforia penggugatan, datanglah twist yang membuat penonton terpental ke dinding kenyataan. Bareskrim Polri, dengan wajah penuh keseriusan, mengumumkan hasil penyelidikan yang sudah ditunggu sejak zaman dinosaurus hukum, ijazah mantan Presiden Joko Widodo dinyatakan asli.
Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim menjelaskan, ijazah tersebut telah diuji forensik dan dibandingkan dengan dokumen milik tiga alumni UGM lainnya. Hasilnya? Identik. Autentik. Sempurna. Bahkan, ijazah SMA Jokowi juga divalidasi, setelah melewati pemeriksaan dokumen dan saksi hidup. Jokowi sendiri sempat diperiksa selama satu jam dan menjawab 22 pertanyaan seputar skripsi, dosen pembimbing, dan mungkin juga soal kantin favoritnya. Setelah semuanya beres, beliau mengambil kembali ijazah yang sebelumnya diserahkan untuk investigasi. Kasus pun resmi dihentikan karena tidak ditemukan unsur pidana.
Namun, di ruang sidang Sleman, sinetron tetap jalan. Bagi sebagian orang, hasil Bareskrim adalah seperti spoiler film, boleh tahu akhirnya, tapi tetap ingin nonton prosesnya. Maka sidang ditunda hingga 28 Mei, demi menunggu pihak intervensi merapikan dokumennya. Entah berapa triliun lagi akan disebut, entah siapa lagi yang akan diajukan sebagai saksi, tapi satu hal pasti: drama ini lebih panjang dari masa jabatan presiden itu sendiri.
Begitulah hukum kita, di satu sisi ada hasil forensik ilmiah, di sisi lain ada tuntutan setinggi langit dan skrip sinetron yang tak kunjung tamat. Sementara rakyat hanya bisa duduk, menonton, bertanya-tanya... apakah lembar ijazah benar-benar lebih kuat dari konstitusi? Atau apakah hukum kita hanya perlu satu hal untuk adil, materai dan map plastik yang lengkap?
Sinetron terus belanjut walau ijazah sudah dinyatakan asli. Ngopi pun terus berlanjut juga. Karena, kopi tanpa gula paling asyik menemani sinetron tanpa akhir ini.
Publisher : Timtas M-Krimsus#camanewak
Komentar0