Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Saya hanya menarasikan pendapat ahli hukum. Saya sejatinya hanya kang ngopi. Kalau saya dihantam badai bully, “Naseblah!” kate budak Pontianak. Sambil ngopi malam, yok kita simak penjelasan salah satu artis Dirty Vote, Zainal Arifin Mochtar.
Langit politik Indonesia mendung. Tapi bukan karena hujan. Karena ada bisik-bisik, gema keras, dan sorakan lirih di sudut warung kopi, di meja rapat elite, dan di hati para pensiunan jenderal TNI. Sebuah wacana dari purnawirawan TNI kini menjelma menjadi perdebatan nasional, haruskah Gibran dimakzulkan dari jabatannya sebagai Wapres?
Zainal Arifin Mochtar, Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM bersuara. Ia seperti seorang nabi hukum turun dari gunung untuk menyampaikan wahyu pasal-pasal suci UUD 1945. Dalam siaran Sapa Indonesia Pagi di Kompas TV pada 28 April 2025, Zainal tak ragu menyitir ayat-ayat konstitusi sebagai jembatan menuju kemungkinan yang tak terpikirkan, pemakzulan Wapres Gibran.
Ia menolak membaca UUD hanya dari Pasal 3, karena menurutnya, “kita harus juga baca Pasal 7A dan 7B.” Dalam pasal-pasal itu, tersembunyi tiga pusaka keramat, tiga syarat pemakzulan. Tiga hal yang bisa menjadi palu godam hukum, menumbangkan kekuasaan yang bahkan belum sempat mengakar.
Pertama adalah ketidaksahihan administratif. Jika Gibran tak lagi memenuhi syarat sebagai Wakil Presiden, maka segalanya bisa berubah. Satu dari isu paling menggelikan tapi tak kunjung mati adalah soal ijazah Gibran, yang sempat dirumorkan palsu. Meski tidak terbukti, bayangan kecurigaan itu tetap melayang-layang di udara republik. Jika bukti sahih suatu hari datang, sekeras batu meteorit menghantam logika politik, maka ini bisa menjadi alasan untuk memulai pemakzulan. Sungguh, betapa selembar kertas bernama ijazah bisa jadi kartu As dalam permainan catur demokrasi.
Kedua adalah pelanggaran hukum pidana. Misalnya, Gibran terbukti menerima suap, atau melakukan tindakan kriminal lainnya. Nama Ubedilah Badrun, dosen dari Universitas Negeri Jakarta, kembali mencuat. Ia pernah melaporkan Gibran ke KPK terkait dugaan korupsi dan pencucian uang. Laporan itu sempat bergema, lalu tenggelam di lautan berita clickbait. Namun, Zainal mengingatkan, jika laporan itu terbukti benar, pintu pemakzulan terbuka lebar. Tidak perlu ledakan besar, hanya butuh satu keputusan hukum yang sah dan konstitusional.
Ketiga adalah perbuatan tercela, atau dalam istilah hukum, misdemeanor. Kategori ini adalah ladang interpretasi bebas. Salah satu isu yang sempat viral adalah tentang akun Kaskus bernama Fufufafa, yang diduga ditulis oleh Gibran dan berisi hal-hal yang dianggap tidak bermoral. Walau tak pernah ada verifikasi resmi, netizen sudah menjadikannya vonis moral. Bila suatu hari terbukti bahwa benar itu adalah ulah Gibran, maka ini bisa dianggap sebagai pelanggaran etika berat. “Silakan dielaborasi,” kata Zainal, seolah membuka pintu imajinasi rakyat yang lapar akan drama konstitusi.
Namun, Zainal bukan hanya mengangkat cawan pemakzulan. Ia juga meletakkan pedang peringatan di atas meja demokrasi. Bahwa meski Gibran naik ke kursi Wapres lewat proses politik yang, menurutnya, “cacat secara konstitusi,” bukan berarti kita boleh membalas cacat dengan cacat. Ia menyebut Gibran sebagai “anak haram konstitusi.” Kalimat ini bukan sekadar metafora, tapi tudingan akademis terhadap manuver politik dan putusan Mahkamah Konstitusi yang pernah dinilai berpihak.
Namun ia juga menegaskan, jangan sampai demi menurunkan seseorang yang naik secara salah, kita justru merusak konstitusi lebih dalam lagi. Proses pemakzulan, kata Zainal, harus dimulai dari DPR, dilanjutkan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi, dan diakhiri dengan putusan MPR. Ini bukan proses pop-up seperti unduhan aplikasi, tapi prosesi sakral penuh lika-liku hukum dan politisasi.
Inilah drama konstitusi Indonesia. Penuh absurditas, namun sangat nyata. Jika sejarah menuliskan bab baru tentang seorang wapres yang dimakzulkan karena ijazah, akun Kaskus, atau laporan yang bangkit dari kubur, maka kita sedang hidup dalam episode paling epik dari republik ini. Sebuah cerita di mana hukum, politik, dan satire bertemu dalam satu panggung bernama demokrasi Indonesia.
Baca dengan saksama, sambil minum kopi agar emosi bisa pergi.
Publisher : Timtas M-Krimsus#camanewak
Komentar0