PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Banyak yang memberitakan, di tengah gemburan rudal dan drone Iran, PM Israel, Benyamin Netanyahu kabur ke Yunani. Netanyahu menghilang. Netanyahu ketakutan. Macam-macam netizen berspekulasi. Ternyata, pria diincar yang oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk ditangkap itu, masih cengar-cengir di negaranya sendiri.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akhirnya muncul setelah menghilang sejenak, entah ke Yunani, ke gua para nabi, atau sekadar menyepi mencari inspirasi nama operasi militer baru. Ternyata, boom! Ia nongol di Bat Yam, lokasi yang baru saja dihantam rudal Iran seperti kucing nyasar yang masuk dapur rumah tetangga.
Dengan wajah serius dan napas setengah tertahan oleh ego geopolitik, Netanyahu mengecam keras. “Iran akan membayar harga yang sangat mahal!” Tentu, karena dalam filsafat perang versi Tel Aviv, setiap nyawa sipil yang melayang akibat rudal Iran adalah tragedi. Sementara 250 lokasi Iran yang dibom Israel sejak Jumat adalah “langkah preventif demi kedamaian surgawi”.
Nama operasinya? “Rising Lion.”
Singa yang naik. Naik ke mana? Tidak jelas. Mungkin ke langit ketujuh bersama moralitas yang sudah sejak lama kabur dari arena ini. Singa itu katanya menghantam ratusan titik nuklir dan militer Iran, meski kita tahu dalam peperangan modern, “titik nuklir” bisa berupa gedung kosong, rumah sakit, atau warung kebab yang dicurigai menyuplai plutonium lewat saos sambal.
Iran tentu tak tinggal diam. Dalam gaya khas Persia klasik, mereka membalas dengan hujan rudal. Sekitar 10 orang tewas, 200-an luka, dan Iron Dome milik Israel terlihat seperti payung bolong yang sudah terlalu sering dipakai saat badai moral. Sebagian rudal Iran menembus pertahanan dan sukses bikin Bat Yam, Tel Aviv, dan wilayah utara Israel seperti lokasi syuting film “Armageddon: Edisi Timur Tengah”.
Militer Israel langsung menerapkan sensor ketat. Wartawan dilarang mengambil gambar, merekam lokasi jatuhnya rudal, bahkan mungkin dilarang menyebut kata “rudal” kecuali dalam doa. Karena dalam logika perang modern, jika tak direkam, maka tak pernah terjadi. Realita bisa disensor, tapi narasi tetap harus dikontrol, karena sejarah ditulis oleh mereka yang punya jet tempur dan juru bicara.
Netanyahu dengan heroik membela serangan awal Israel ke Iran. “Ini adalah langkah menyelamatkan dunia dari program nuklir Iran!” katanya, sambil mungkin lupa bahwa dunia sudah terlalu sering “diselamatkan” dengan bom dan peluru. Setiap kali Israel mengebom negara lain, itu disebut “langkah pertahanan”. Tapi kalau dibalas, langsung jadi ancaman eksistensial. Filsafat perang ala Netanyahu: Menyerang adalah hak suci, dibalas itu kejahatan perang.
Dalam keadaan ini, kita dipaksa memilih logika yang bahkan filsuf Yunani pun akan geleng-geleng kepala. Apakah serangan rudal adalah bentuk komunikasi diplomatik terbaru? Apakah penderitaan warga sipil hanyalah kolateral dari politik jangka panjang dan ego jangka pendek?
Mungkin yang kita butuhkan bukan Rising Lion, tapi Rising Logic. Sebab di tengah dentuman rudal dan teatrikal media, yang benar dan salah telah dibom bersama kejujuran. Perang ini bukan tentang kebenaran, tapi tentang siapa yang lebih dulu bikin pernyataan pers.
Selamat datang di era baru, di mana bom menjelaskan argumen, dan sensor adalah juru bicara utama. Netanyahu dan Iran sedang main catur pakai nuklir, sementara dunia jadi papan dan rakyat sipil jadi pion.
Singa itu? Ia tak sedang naik. Ia sedang tersesat di antara etika dan ambisi.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
Komentar0