Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Aceh ni, Bos! Akan menjadi ujian berat buat pemerintahan Prabowo. Lewat Mendagri memutuskan empat pulau milik Provinsi Sumatera Utara, bukan lagi milik Aceh. Tak ayal negeri serambi Mekah itu memanas. Sambil serumput kopi tanpa gula, mari kita ungkap situasi ini, wak!
Di suatu pagi yang biasa saja di republik yang luar biasa ini, sejarah kembali disusun, bukan oleh darah dan air mata, tapi oleh koordinat dan printer yang kehabisan tinta. Empat pulau kecil di Kabupaten Aceh Singkil, yakni Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek, tiba-tiba dinyatakan bukan lagi milik Aceh. Bukan juga milik alien. Tapi milik Sumatera Utara. Begitu saja. Tanpa sayembara. Tanpa debat. Hanya karena spreadsheet dan koordinat hasil meditasi birokrasi tahun 2009.
Keputusan ini, datang dari langit Kementerian Dalam Negeri, seperti wangsit yang jatuh dari langit versi Google Earth. "Berdasarkan analisis spasial terbaru," kata mereka. Analisis yang entah disusun di ruang GIS atau di warung kopi. Empat pulau yang sejak 1965 sudah tercatat di dokumen agraria sebagai bagian dari Aceh, yang masuk kesepakatan batas wilayah tahun 1988 dan 1992 antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut, lenyap dari peta Aceh hanya karena salah klik.
Mendagri pun mantap. Katanya, keputusan ini final, berdasarkan data. Mungkin data itu juga menyatakan bahwa laut asin rasanya manis, atau bahwa durian seharusnya tumbuh di kantor camat. Kita tunggu saja kalau nanti Nusa Tenggara pindah ke Kalimantan karena koordinatnya bergeser saat zoom in terlalu cepat.
Masyarakat Aceh? Mereka bukan sekadar bingung. Mereka murka. Di Pulau Panjang, aksi digelar. Spanduk berkibar. Tugu selamat datang, dermaga, dan mushala yang dibangun dengan APBA dijadikan bukti bahwa pulau-pulau itu bukan hanya milik Aceh secara administratif, tapi juga spiritual. Bahkan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) mendesak Gubernur Aceh untuk terbang ke Jakarta, membawa peta dan iman, demi menemui Presiden Prabowo dan menyelamatkan marwah.
Sementara itu, DPR dan DPD RI dari Aceh angkat suara. Mereka tak hanya meminta, tapi mendesak agar keputusan ini direvisi. Mereka menilai, keputusan Kemendagri bukan cuma keliru, tapi bisa memicu konflik antarprovinsi. Sebab di negeri ini, membagi bansos saja bisa bikin ribut, apalagi membagi pulau. Logikanya sederhana, jangan pindahkan anak kandung ke rumah tetangga hanya karena keliru nulis alamat di Kartu Keluarga.
Sumut, dengan enteng, mengusulkan kerja sama pengelolaan pulau. Seperti pasangan yang merebut mantan orang lain, lalu mengajak double date. Aceh, dengan penuh harga diri, menolak. Sebab ini bukan soal retribusi atau pariwisata, tapi tentang warisan sejarah dan hak asasi geografis.
Kesalahan sebenarnya sudah terjadi sejak 2008, ketika Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi tidak memasukkan empat pulau ini ke dalam daftar Aceh. Lalu, tahun 2009, Aceh mengajukan revisi koordinat. Tapi seperti biasa, di tangan birokrasi, revisi bisa berubah jadi revolusi. Revolusi kali ini bukan menggulingkan rezim, tapi menggulingkan pulau ke pangkuan provinsi sebelah.
Kini, seluruh rakyat Aceh menunggu, akankah sejarah dipulihkan, atau dibiarkan mengalir bersama air laut yang asin dan birokrasi yang hambar? Sebab, di negeri yang katanya menjunjung tinggi keadilan, ternyata pulau bisa hilang bukan karena bencana alam, tapi karena salah ketik. Itu lebih menakutkan dari gempa bumi.
Karena di Indonesia, bukan cuma peta yang bisa berubah. Tapi logika juga.
Duh, jadi ingat nostalgia tahun 2017 lalu, ngopi di Solong Kupi di Simpang 7 Ulee Kareng. Kalau bisa pihak pengambil keputusan ngopi di sini, dijamin beres semua.
Publisher : Timtas M-Ktimsus#camanewak
Komentar0