Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorktimsus.com
Di ujung barat daya Papua, tempat surga jatuh tercecer dari langit dan mendarat dengan indah di Raja Ampat, kini berdentum suara-suara ekskavator. Tapi jangan salah paham, ini bukan kiamat ekologis, ini adalah simfoni kemajuan, orkestra industrialisasi, harmoni antara nikel dan narasi nasionalisme. Di tengah polemik yang bikin netizen kehilangan sinyal akal sehat, KH Ahmad Fahrur Rozi, Ketua PBNU Bidang Keagamaan yang juga menjabat sebagai Komisaris PT Gag Nikel, tampil sebagai pahlawan ganda. Satu kaki di pesantren, satu kaki di tambang. Sebuah bentuk keteladanan zaman now, zikir di pagi hari, rapat tambang di siang bolong.
Keren kan, wak! Sambil menunggu Timnas kita melawan Samurai Biru, yok kita ungkap argumentasi petinggi NU ini membenarkan eksploitasi Pulau Gag. Tentu sambil seruput kopi tanpa gula.
Kata beliau, Pulau Gag bukan destinasi wisata. Tolong garis bawahi. Ini bukan tempat sampeyan bersantai sambil meminum kelapa muda dan membaca Paulo Coelho. Ini adalah lokasi dengan izin eksplorasi resmi sejak 1998, dan sudah berstatus IUP (Izin Usaha Pertambangan) sejak 2017. Secara administratif, bukan wilayah sakral, melainkan lahan produktif nasional. Kalau kisanak masih melihat pulau ini sebagai surga yang harus diselamatkan, mungkin panjenengan belum cukup nasionalis. Atau belum baca berita yang disetujui Kementerian.
Beliau bahkan menjelaskan bahwa narasi yang menyandingkan foto tambang dengan panorama Piaynemo itu adalah kerja AI. Ya, AI. Kecerdasan buatan. Teknologi yang dulunya untuk menyembuhkan kanker, kini dipakai untuk menyesatkan publik. Karena publik, tampaknya, masih bisa disesatkan oleh satu gambar split-screen antara karst dan laterit. Padahal secara geologi, kata beliau dengan ketegasan setara seorang ahli waris Galilei, Piaynemo itu batu gamping, dan nikel hanya ada di batuan ultrabasa seperti laterit atau peridotit. Ini bukan sekadar beda lokasi, ini beda zaman penciptaan!
Tentang kerusakan lingkungan? Ketua PBNU menjawab dengan gaya Socrates tropis. “Tolong tunjukkan. Pencemaran yang mana? Lingkungan yang bagaimana?” Karena kalau tak ada bukti sah dari inspektorat resmi, itu cuma "gorengan medsos". Lagi pula, PT Gag Nikel disebut beroperasi sesuai AMDAL, taat peraturan, dan diperiksa rutin oleh tim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kalau itu masih disebut ilegal, mungkin semua tambang di negeri ini juga harus naik haji dulu biar dianggap suci.
Tentu, suara-suara seperti Daniel Johan dari Komisi IV DPR RI tetap melantang. Ia menyebut bahwa tambang di pulau kecil itu melanggar UU Nomor 1 Tahun 2014, membahayakan ekosistem, dan menghancurkan kehidupan masyarakat lokal. Tapi hei, UU kan produk manusia. Sementara kebutuhan nikel adalah panggilan zaman. Kalau nikel bisa jadi baterai untuk Tesla dan mimpi hijau Eropa, siapa kita menolaknya? Apakah kita tega menghalangi industrialisasi hanya karena beberapa terumbu sedih dan burung cendrawasih kehilangan tempat jogging?
Raja Ampat memang indah. Tapi devisa lebih indah. Alam memang memesona, tapi APBN lebih menggoda. Jika harus memilih antara karst yang tak bisa dimakan atau nikel yang bisa dikonversi menjadi utang luar negeri yang tertib, maka mari kita gali! Karena ini bukan eksploitasi, ini pengabdian. Jangan khawatir, lubang-lubang itu akan kita tanami doa dan pasal-pasal hukum... setelah nikel-nya habis, tentu saja.
Akhirnya kita sampai pada puncak hikmah, Raja Ampat bukan hanya milik penyelam, fotografer, dan turis dengan sandal kulit vegan. Raja Ampat juga milik para insinyur, operator alat berat, dan komisaris yang mengerti perbedaan antara batu kapur dan laterit. Ini bukan semata eksploitasi alam. Ini adalah jihad energi, ibadah struktural, dan kontribusi nyata kepada APBN. Surga bisa menunggu. Tapi target ekspor nikel tak boleh tertunda.
Publisher : Timnas-M-Krimsus#camanewak
Komentar0