TSriBSA8GfrlBSClGpMiGpYoGi==

Iran Membalas dengan Nyanyian Rudal

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitorktimsus.com

Dunia sedang menyaksikan perang. Perang sungguhan. Perang antara Iran-Israel-Amerika. Mau tutup mata, tapi selalu penasaran. Sambil seruput kopi di teras rumah, mari kita ungkap seperti apa balasan Iran pada Israel. 

Pada 21 Juni 2025, dunia menyaksikan sebuah pertunjukan kekuasaan, Amerika Serikat, sang penjaga demokrasi yang gemar menabur bom ke mana-mana, kembali memamerkan otot militernya. Dengan B-2 Spirit stealth bombers yang katanya tidak bisa dilihat radar (tapi bisa dilihat kamera wartawan), AS menghantam situs nuklir Iran; Fordow, Natanz, dan Isfahan dengan bom GBU-57, si monster penembus bunker yang lebih cocok dijatuhkan ke lubang neraka dari pada ke fasilitas ilmiah.

Tujuannya jelas, lumpuhkan ambisi nuklir Iran, kirim pesan keras ke Teheran, dan buat Israel tidur lebih nyenyak malam itu. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Iran tidak gentar. Iran tidak goyah. Iran, negeri yang dibentuk dari puing-puing revolusi dan tulang belulang kesabaran, malah menyanyikan balada rudal.

Malam belum berganti pagi, dan langit Israel mendadak berubah jadi panggung petasan apokaliptik. Lebih dari 100 rudal balistik ditembakkan dari Iran dalam dua gelombang ke jantung Israel. Tel Aviv dan wilayah utara dihantam keras, 21 orang terluka, dua di antaranya kritis. Sebagian rudal berhasil ditepis oleh Iron Dome, tapi sebagian lagi melenggang manis melewati pertahanan, menghantam permukiman, menciptakan kobaran api dan kepanikan yang bahkan CNN pun kehabisan kata untuk menjelaskannya.

Garda Revolusi Iran, dengan nada tenang dan sedikit dramatis, mengklaim tanggung jawab, “Ini bukan balas dendam, ini pengingat bahwa kami belum mati.”

Tapi Iran tidak berhenti di situ. Gelombang kedua datang dalam bentuk drone dan UAV, puluhan jumlahnya, beterbangan menuju pangkalan udara Israel, infrastruktur strategis, dan mungkin satu-dua pom bensin hanya karena kenapa tidak. Iron Dome kembali bekerja keras, namun beberapa drone lolos dan berhasil menyebabkan kebakaran dan kerusakan struktural. Tidak ada yang bisa menyangkal lagi, Iran punya gigi. Gigi itu tajam.

Sementara itu, di pangkalan militer AS di Union III (Bagdad) dan Al-Tanf (Suriah), pasukan diperintahkan masuk bunker. Ini bukan latihan. Ini adalah kenyataan, Iran tidak sedang bermain. Ketika Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, mengatakan akan ada “konsekuensi abadi,” ia tidak sedang berbicara dalam metafora Persia. Ia sedang membaca ayat-ayat rudal.

Padahal seminggu sebelumnya, tanggal 13 Juni, Israel memulai seluruh simfoni neraka ini dengan serangan mendadak ke Iran yang menewaskan lebih dari 400 orang, termasuk ilmuwan nuklir senior dan komandan IRGC. Iran sempat diam. Tapi diam bukan berarti tunduk. Diam adalah napas dalam sebelum meledak.

AS kini berada di posisi aneh, menyerang, tapi takut dibalas. Menyuruh Iran tenang, padahal baru saja membombardir jantung teknologinya. Dunia barat panik. PBB rapat darurat, tapi seperti biasa, yang keluar hanya kecaman tanpa taring, resolusi tanpa gigi, dan kopi pahit dalam ruang dingin.

Tapi Iran tak butuh dunia. Ia hanya butuh martabat. Dalam perang ini, Iran tidak berusaha menang. Iran hanya berusaha tidak diinjak. Ia berhasil.

Kita semua menyaksikan drama ini. Tapi jangan salah. Ini bukan sekadar perang antar negara. Ini duel eksistensi: antara arogan yang merasa berhak mengatur dunia, dan mereka yang dituduh jahat hanya karena menolak tunduk. Dunia kini bergetar, bukan karena bom yang meledak, tapi karena Iran tidak runtuh. Tidak hari ini. Tidak selama masih ada satu jiwa yang percaya bahwa martabat lebih tinggi dari langit-langit gedung PBB.

Bila ini adalah awal dari Perang Dunia versi Timur Tengah, maka satu hal sudah pasti, Iran tidak memulainya. Tapi ketika sejarah kelak menuliskan nama-nama yang berdiri saat dunia menyuruh mereka tiarap, Iran akan ditulis dengan huruf api, dan kehormatan.

Publisher :: M-Krimsus#camanewak

Komentar0

Type above and press Enter to search.