Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Nampaknya cerita perang udah pada bosan. Perang ujungnya damai. Habis damai, perang lagi. Kali ini, nak cerite mahasiswa bimbingan skripsi saya. Mudah-mudahan bisa menjadi inspirasi bagi mahasiswa yang lain. Siapkan kopi tanpa gulanya, wak.
Ada sidang skripsi yang biasa-biasa saja. Lulus, selfie, lalu hilang ke dalam sejarah kampus yang pelan-pelan dilupakan. Tapi kemarin, 24 Juni 2025, sebuah sidang skripsi menjadi peristiwa semesta. Angin berembus lebih pelan. Langit tampak lebih teduh. Burung gereja di depan ruang sidang mendadak diam, mungkin ikut menyimak. Karena yang diuji bukan sekadar skripsi. Tapi hidup itu sendiri.
Namanya Aswandi. Mahasiswa. Suami. Pedagang es tebu. Calon ayah. Pejuang yang menulis skripsi bukan dengan tinta biasa, tapi dengan cairan tebu, peluh, dan air mata harapan.
Saya dosennya. Saya tahu, bagaimana kerasnya perjuangan anak ini. Ia bukan mahasiswa biasa yang ngilang saat bimbingan. Ia bukan tipe yang cuma kirim skripsi lalu menghilang macam jin. Ia datang ke rumah. Duduk. Diam. Mendengar. Mencatat. Kadang siang, kadang malam.
Ketika mau bimbingan, ia selalu WA dulu, kapan saya ada waktu. Saya jawab, habis magrib, boleh ke rumah. Ia pun datang dengan motor bututnya dan laptop yang sudah usang. Bimbingan berlangsung, kadang sampai jam 9 sampai 10 malam.
Kadang saya kasihan, kadang saya iri. Iri, karena di usia muda, dia sudah tahu apa arti tanggung jawab, yang bahkan sebagian pejabat belum tentu paham.
Yang bikin cerita ini makin gila, Aswandi ternyata sudah menikah. Istrinya sedang hamil tua. Untuk menghidupi keluarga kecil itu, ia menjual es tebu di dekat Pasar Sungai Durian Kubu Raya. Bukan kafe. Bukan booth fancy. Tapi lapak kecil di pinggir jalan, tempat angin dan debu berkonspirasi setiap sore. Di situlah, ia berdiri. Menjajakan es tebu dengan semangat seorang CEO, meski seragamnya cuma kaus oblong dan handuk di leher.
Lalu, datanglah musibah, penertiban oleh Pemkab Kubu Raya. Kios-kios digusur. Rezim truk dan palu menghantam keras. Es tebu Aswandi ikut tergilas. Tapi hidup, bagi pejuang macam dia, tak bisa digusur. Ia pindah ke belakang pasar. Tak ada baliho. Tak ada listrik yang stabil. Tapi tetap ia berdiri. Tetap jualan. Tetap bimbingan skripsi. Seolah-olah Tuhan memberinya cadangan tenaga tak terbatas, sementara kita, baru disuruh fotokopi skripsi saja sudah tumbang.
Kemarin, sidangnya selesai. Nilainya baik. Layak. Sangat layak. Tapi yang membuat saya nyaris menangis (meski saya tetap menjaga wibawa dosen senior), adalah saat ia mencium tangan saya. Tangannya kasar. Bau gula tebu. Tapi hangat. Tulus. Seperti ucapan terima kasih dari seorang prajurit setelah pulang perang.
Saya tak punya banyak hadiah. Hanya doa, semoga istrinya melahirkan dengan selamat. Semoga dagangan tetap laris. Semoga gelar "Sarjana Manajemen" yang ia raih, adalah awal dari gelar-gelar kehidupan yang lebih besar.
Kalau hari ini kau merasa hidupmu berat, coba ingat Aswandi. Ia tidak punya privilege. Tidak punya link. Tapi ia punya satu hal, tekad yang lebih keras dari mesin penggiling tebu.
Kalau nuan masih menunda-nunda skripsi hanya karena "lagi gak mood", coba cari cermin, tatap dalam-dalam, dan bayangkan Aswandi.
Aswandi kini resmi menyandang gelar Sarjana Manajemen. Tapi bagi saya, ia lebih dari itu. Ia adalah Sarjana Kehidupan. Ia tak hanya paham teori SWOT, tapi juga paham cara bertahan saat semua opsi “threat” datang bersamaan.
Mari kita belajar darinya. Jika Aswandi bisa lulus, berdagang, mencintai, dan menanti kelahiran buah hati, kalian mahasiswa yang masih rebahan sambil scroll TikTok, apa kabar?
Publisher : Krista#camanewak
Komentar0