Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Ini hanya cerita ringan, wak. Tak lah seberat perang Iran vs Israel, ijazah, maupun korupsi quadriliun. Kisah seorang tukang ojek online (ojol) yang saya dengarkan tadi pagi. Siapkan kopi tanpa gulanya, wak!
Pagi tadi (23/6/2025), saya memulai sebuah ritual suci kaum urban, servis berkala mobil. Maklum sudah berbulan-bulan tak dimanjakan. Saatnya si kuning saya dipijat. Tempatnya eksklusif, elegan, showroom Anzon Pontianak. Tapi betapa absurdnya hidup ini, saya datang pagi dengan harapan cepat selesai. Bisa ditunggu sambil ngopi di kantin Anzon. Ternyata, servis baru selesai sore. Saking banyaknya antre. Kalau mobil saya bisa bicara, mungkin dia sudah minta spa plus facial dan lulur cap oli.
Karena saya bukan Nabi Ayyub yang bisa sabar duduk berjam-jam sambil memandangi baut dan wincle, saya pun memutuskan pulang dulu. Modal saya? Aplikasi. Harapan saya? Datangnya penyelamat dalam bentuk abang ojol.
Seperti malaikat berjaket hijau, dua menit setelah saya order, datanglah ia.
Sepeda motor penuh harapan. Abang ojol dengan helm yang mencerminkan sinar mentari, dan aura kelelahan yang sudah menyatu dalam pori-pori kehidupannya. Tarif? Rp21.000. Harga yang tak sebanding dengan nilai filosofi yang akan saya dapatkan.
Abang ojol pun melaju membonceng saya menuju rumah. Asap knalpot menari-nari, angin menerpa, dan di belakang punggungnya, saya bertanya, bukan karena kepo, tapi karena ingin mengerti semesta ini dari balik punggung tukang antar.
“Sehari dapat berapa, bang?”
Dengan suara tenang bak biksu Zen yang sudah purnatugas dari pertapaan digital, ia jawab,
“Paling 150 ribuan. Kadang lebih, kadang kurang. Tergantung hujan, rezeki, dan pelanggan yang nggak PHP.”
Ia sudah enam tahun jadi ojol. Enam tahun! Kalau ini hubungan, sudah cukup buat KUA dan undangan cetak. Tapi hidup tak sesederhana kartu nikah.
Apa hasilnya selama enam tahun? Dengan bangga ia berkata, “Saya sudah beli mobil, Bang. Sigra. Kredit.”
Seketika bumi berguncang dalam kesadaran baru. Saya hampir sujud di atas motor. Mobil Sigra itu bukan dari warisan, bukan dari giveaway Instagram, tapi dari ngojek tiap hari dari pagi sampai sore!
Tinggal di rumah orang tua. Belum menikah. Belum cukup tabungan. Tapi tetap yakin.
“Jodoh di tangan Tuhan,” katanya. Kalimat itu sederhana. Tapi mengandung kedalaman eksistensial yang tak bisa dijangkau oleh kutipan motivasi CEO di LinkedIn. Karena memang, hanya mereka yang berjuang sambil dibayar 5 ribu per kilometer yang tahu betul betapa peliknya kehidupan itu.
Kami pun tiba di rumah saya. Saya bayar. Saya lebihkan sedikit sebagai tip. Lalu saya beri bintang lima, karena tak mungkin saya kasih bintang sembilan. Sistem aplikasinya belum sebijak perjuangan abang ini.
Di situlah saya sadar.
Abang ojol bukan hanya tukang antar. Ia filsuf roda dua. Ia resistensi hidup dalam bentuk mesin dan nyali. Ia pahlawan yang bertarung melawan algoritma, cuaca, bensin mahal, dan penumpang yang kadang tak tahu arah pulang, apalagi arah hidup.
Dia tidak viral. Tidak trending. Tidak centang biru. Tapi dia punya mobil, punya tekad, dan masih percaya Tuhan.
Maka kalau hari ini jenengan merasa hidupmu berat, ingatlah satu hal, ada abang ojol di Pontianak, yang tiap hari ngojek buat bayar cicilan mobilnya, sambil tetap percaya bahwa jodoh akan datang, entah di tikungan hidup, atau di bundaran takdir.
Sejak saat itu, tiap kali saya lihat abang ojol melaju, saya tak lagi lihat sekadar ojek..Saya lihat seorang legenda. Yang menggas takdirnya perlahan. Menuju satu hal yang tak bisa dibeli,
harga diri.
Itulah, kawan, makna sejati perjuangan hidup. Setiap manusia punya takdirnya sendiri. Setiap kita pasti merasakan bahagia, juga merasa sedih. Hidup memang penuh warna. Dengan warna itulah hidup menjadi indah.
Publisher : Timtas M-Krimsus#camanewak
Komentar0