Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Bagi rakyat Iran, orang paling dibenci, Benyamin Netanyahu. Begitu sebaliknya, bagi rakyat Israel, orang paling dibenci, Ayatollah Ali Khemenei. Begitulah perang, wak! Hanya ada kebencian, pembunuhan, dan kekejaman. Namun, kali ini saya mau mengenalkan pemimpin tertinggi Iran yang memiliki darah keturunan langsung dari nabi. Yok, kita kenalan sambil seruput kopi tanpa gula.
Di pagi 19 April 1939, di kota Mashhad, lahir seorang bayi yang kelak tak hanya memimpin negara, tapi mengatur narasi geopolitik dengan satu alis terangkat. Namanya, Sayyid Ali Hosseini Khamenei, manusia yang bukan cuma berdarah Sayyid, tapi juga diberi bonus keturunan Imam Ali Zainal Abidin, Imam keempat Syiah, dalam satu paket DNA istimewa.
Jika sejarah Islam adalah serial panjang di Netflix, maka Khamenei adalah musim ke-14 yang plot-twist-nya sulit ditebak. Ayahnya, Sayyid Javad Khamenei, seorang ulama besar, diyakini mendidik putranya dengan kombinasi tafsir Al-Qur’an, filsafat kontemporer, dan jurus menghindari intel Shah. Pendidikan Khamenei dimulai di seminari Mashhad, lalu lanjut ke Qom dan Najaf, tempat para ulama bertarung bukan dengan senjata, tapi dengan logika yang bisa membelah batu.
Sejak muda, Khamenei sudah menunjukkan bakat revolusioner. Ia bukan anak muda yang rebahan sambil men-scroll kitab kuning. Ia justru melempar pertanyaan eksistensial ke rezim Shah, “Untuk apa kekuasaan tanpa keadilan?” Pertanyaan itu membuatnya ditangkap berkali-kali, diasingkan, dan tetap muncul kembali seperti versi Syiah dari Captain America. Jika ada kurikulum “Survivor of Oppression”, dia bisa jadi pengajarnya.
Tahun 1981, ia menjabat sebagai Presiden Iran. Tapi jangan bayangkan presiden seperti kepala OSIS. Di Iran pasca-revolusi, menjadi presiden adalah seperti jadi penyeimbang di sirkus api, di mana jika salah langkah, bisa disambar fatwa atau granat geopolitik. Meski begitu, ia menjalani dua periode dengan gaya khas, kalem, bermakna, dan tidak pernah kehabisan metafora religius saat diwawancarai.
Namun puncaknya datang di tahun 1989, saat Ayatollah Ruhollah Khomeini wafat. Dunia bertanya-tanya, siapa yang cukup kuat, cukup alim, dan cukup tahan sensor untuk menggantikannya? Jawabannya adalah Khamenei, diangkat sebagai Pemimpin Tertinggi Iran, atau Supreme Leader, posisi yang secara fungsional setara dengan gabungan pemimpin agama, presiden, jenderal, dan CEO Google dalam satu tubuh berjubah.
Sebagai Supreme Leader, ia memegang kekuasaan atas militer, kehakiman, media, dan bahkan… keheningan. Tak ada keputusan strategis tanpa seizin beliau. Bahkan senjata nuklir pun pernah ia ‘haramkan’ lewat fatwa, membuat uranium di bawah tanah Iran ikut berkeringat. Dalam forum internasional, ia tidak pernah hadir langsung. Tapi cukup dengan satu khutbah Jumat, bursa saham bisa demam, dan para analis politik butuh ibuprofen.
Ia juga selamat dari percobaan pembunuhan tahun 1981, yang melumpuhkan lengan kanannya. Tapi jangan khawatir, karena setelah itu, banyak yang bilang lengan kirinya jadi lebih puitis dan ideologis.
Ali Khamenei bukan cuma pemimpin, ia adalah fenomena genealogis, spiritual, politik, dan kosmologis. Jika langit adalah kitab terbuka, maka namanya sudah tercetak dalam huruf emas sejak abad ke-7, hanya menunggu diaktifkan seperti cheat code dalam permainan sejarah.
Ketika dunia bertanya, “Siapa sebenarnya Ayatollah Ali Khamenei?”
Jawabannya simpel, ia adalah keturunan Nabi yang membawa remote, bukan hanya untuk Iran, tapi mungkin juga untuk realitas ini sendiri.
Kini, pada usia 86 tahun, Sayyid Ali Khamenei bukan cuma simbol revolusi. Ia adalah mahakarya sejarah, manuskrip hidup dari Syiah Dua Belas Imam, dan mungkin satu-satunya manusia yang jika tersenyum, bisa membuat perundingan damai tertunda 3 hari.
Bukan karena takut. Tapi karena semua menunggu, apakah ini senyum restu, atau pertanda kiamat diplomatik?
Publishar : Timnas M-Krimsus#camanewak
Komentar0