TSriBSA8GfrlBSClGpMiGpYoGi==

Montir Pakai Baju Lebaran, Mekanik Pakistan

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitorktimsus.com

“Bang, kenapa sih para mekanik Pakistan itu suka memakai baju lebaran?” tanya Matraji polos, kawan ngopi paling setia. Kebetulan lagi ngopi di Adis Coffee Jalan Imam Bonjol Pontianak. Topik obrolan soal baju mekanik Pakistan yang kalau kita lihat mirip baju lebaran. Di sana justru jadi pakaian resmi saat betulkan mobil, truk, ngelas, dll. Yok, kita bahas pakaian para mekanik negara yang mayoritas Muslim ini. 

Mari kita mulai dari sebuah penglihatan ilahiah. Ente masuk ke bengkel tua di Karachi, Pakistan. Mobilmu mogok, hatimu hancur. Tiba-tiba muncullah seorang lelaki. Wajah berseri. Janggut rapi. Matanya bercahaya seperti habis zikir 40 hari. Tapi yang membuat engkau nyaris bertakbir adalah… pakaiannya.

Ya Tuhan. Itu… itu kan baju lebaran!

Longgar, putih suci, seperti jubah imam besar masjid yang tersesat di antara dongkrak dan busi. Tapi jangan salah. Tangan pria itu cekatan membongkar mesin, mencabut kabel, menyiram air radiator dengan gaya seperti sedang menyiram bunga di halaman surga. Keringat menetes dari dahinya, bukan karena panas dunia, tapi karena beban tanggung jawab spiritual atas karburator yang rusak.

Inilah realitas absurd nan megah dari negeri Pakistan, shalwar kameez, pakaian agung itu, telah berevolusi menjadi seragam resmi perbengkelan. Bukan hanya lebaran. Bukan hanya akad nikah. Tapi juga, tambal ban. Ganti oli. Servis AC mobil yang sudah berkarat sejak zaman Mughal.

Di Indonesia, pemandangan ini setara dengan melihat ustaz  nyambung knalpot sambil bawa solder. Atau seperti Pak RT salat Ied langsung lanjut benerin genset warga pakai sarung dan songkok. Tidak nyambung. Tidak masuk akal. Tapi di Pakistan, itu norma. Itu standar. Itu spiritualitas fungsional tingkat dewa.

Bayangkan montir Indonesia yang biasa pakai kaus oblong bekas kampanye caleg gagal dan celana sobek penuh dosa industri, tiba-tiba dikirim magang ke Karachi. Dia melihat montir di sebelahnya sedang ngelas sambil bersih-bersih baju gamis. Shock. Trauma. Mungkin langsung tobat dan berhenti jadi montir, ganti profesi jadi penyair.

Tapi jangan salah. Shalwar kameez ini bukan sembarang kain. Ini pakaian yang bisa menahan panas mesin, oli tumpah, bahkan kebocoran spiritual umat manusia. Ini adalah simbol bahwa engkau bisa suci walau kotor, bisa anggun walau bekerja di bawah kolong truk. Ini adalah puncak sintesis antara mode, iman, dan mekanika.

Ada rumor yang beredar bahwa beberapa mekanik Pakistan saking cintanya pada shalwar kameez, mereka tidak pernah ganti baju, cukup dicuci dengan air wudhu dan keyakinan. Katun suci itu menyerap dosa oli dan menggantinya dengan keberkahan torque mesin. Di sisi lain, montir Indonesia baru melihat baju itu saja langsung takut dibilang sok alim. Padahal mungkin, itulah jalan keselamatan dunia dan akhirat, membuka baut dengan ketakwaan.

Lantas, apakah ini semua salah siapa? Kapitalisme? Kolonialisme tekstil? Ketakutan budaya terhadap pakaian sakral yang terlalu bersih untuk dunia kotor? Tidak ada yang tahu. Yang jelas, Pakistan telah menemukan jembatan antara surga dan servis tune-up. Lalu, kita sebagai maniak kopi? Kita masih bingung membedakan antara baju koko dan piama.

Maka dari itu, mari kita renungkan, wak! Jika montir bisa memakai baju lebaran tanpa rasa malu, kenapa kita tidak bisa memakai kebijaksanaan dalam pekerjaan harian? Jika seorang pria bisa mengelas sambil terlihat seperti habis khutbah Jumat, mengapa kita masih bergantung pada seragam pabrik murahan?

Pada akhirnya, kunci keselamatan bukan di obeng atau mesin…Tapi di dalam lipatan shalwar kameez yang berminyak namun penuh berkah. I love mekanik Pakistan, selama belum jadi debu, apapun bisa diperbaiki.

Publishet : Timtas M-Krimsus#camanewak

Komentar0

Type above and press Enter to search.