Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Jakarta, 2 Juni 2025. Langit cerah. Burung-burung diplomatis berkicau. Di halaman Kementerian Luar Negeri, para tokoh bangsa berkumpul dalam aroma formalin kenegaraan, upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila. Ada Presiden Prabowo yang berdiri gagah seperti gladiator. Ada Megawati Soekarnoputri, ibunda ideologis bangsa yang kini menjelma menjadi Mahadewi Pancasila. Ada Jusuf Kalla yang awet seperti formalin sejarah, dan tentu... dua sosok yang memikul beban drama kolosal republik ini, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan Wapres ke-6, sang jenderal senior, Try Sutrisno.
Dua sosok ini pernah berada di sisi yang saling mengunci. Gibran, anak milenial yang lebih sering disandingkan dengan meme, tiba-tiba harus menghadapi serangan non-militer dari barisan jenderal purnawirawan. Forum Purnawirawan TNI-Polri, sebuah kumpulan veteran dengan total 103 jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel, meneriakkan petisi makzulkan Gibran. Isinya? Kritik atas putusan Mahkamah Konstitusi yang “melanggar hukum acara”, usulan reshuffle menteri, penolakan proyek IKN, hingga kekhawatiran terhadap tenaga kerja asing. Sebuah deklarasi keras yang jika dilisankan, bisa membuat tiang bendera Istana sedikit gemetar.
Di antara nama-nama besar yang menandatangani deklarasi itu, terdapat sang tokoh utama, Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno. Mantan Panglima ABRI tahun 1988–1993. Sosok yang pada masanya bisa membuat satuan tempur tiarap hanya dengan menatap. Kini, beliau menjadi simbol dari barisan suara kecewa yang bersatu lintas matra dan usia.
Lalu, dunia berputar. Pada momen Idulfitri dulu, Prabowo menggelar halalbihalal. Ya, momen suci usai lebaran yang biasanya hanya berisi lontong sayur dan obrolan tentang kolesterol, kini menjelma menjadi forum diplomasi tertinggi bangsa. Dengan kekuatan rendang, teh manis, dan sapaan penuh cinta dari tuan rumah, satu demi satu ketegangan mencair. Forum purnawirawan mendadak senyap. Deklarasi yang dulu membara kini lenyap seperti embun di tengah siang bolong. Tidak ada lagi desakan makzulkan. Tidak ada lagi nada ancaman. Yang tersisa hanya satu momentum historis yang layak disiarkan dengan musik latar Hans Zimmer, Gibran dan Try Sutrisno bersalaman.
Dalam foto yang diunggah Gibran di Instagram, terlihat ia membungkuk, penuh takzim, seperti murid kungfu yang sedang memberi hormat pada grandmaster-nya. Try Sutrisno berdiri tenang dalam balutan kemeja putih seragam Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Tangannya terulur. Tak ada penolakan. Tak ada penghindaran. Sementara di sampingnya, Megawati memperhatikan, wajahnya datar, tetapi sorot matanya mengandung 70 tahun sejarah republik. Satu jabat tangan, dan semua luka bangsa seakan menemukan plester.
Apakah ini tanda perdamaian? Atau sekadar intermezzo menjelang babak baru drama istana? Entahlah. Tapi inilah Indonesia, negeri di mana makzulkan bisa dibatalkan dengan salaman, di mana konstitusi bisa dilupakan demi konten, di mana jenderal dan anak presiden bisa bertransformasi dari musuh ideologis menjadi mitra foto bareng hanya dalam tempo satu undangan.
Lalu rakyat? Mereka takjub. Mereka bingung. Mereka menyaksikan kisah ini seperti menyaksikan sinetron politik tanpa akhir, penuh twist, minim naskah, tapi selalu trending.
Begitulah. Di negeri absurd ini, salaman bisa lebih sakral dari sumpah jabatan. Mungkin kita tak butuh petisi, cukup jabat tangan yang difoto dalam sudut dramatis, lalu unggah ke Instagram dengan caption penuh nama-nama sakti. Maka damai pun turun dari langit. Pancasila pun hidup kembali. Setidaknya sampai episode berikutnya.
Maaf yang suka keributan, sepertinya harus mencari isu lain lagi, deh! Ups
Publisher : Timtaa M-Krimsus#camanewak
Komentar0