TSriBSA8GfrlBSClGpMiGpYoGi==

Sedekah Berdarah di Kota Singkawang

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitorktimsus.com

Kota Singkawang biasanya tenang. Tempat asyik ngopi. Anak-anak pun riang bermain di gang sempit. Siapa sangka, di balik itu ada tragedi besar menyelinap dalam diam. Namanya Rafa Fauzan. Umurnya belum genap dua tahun, baru 1 tahun 11 bulan. Balita yang seharusnya sedang belajar menyebut kata “ibu”, belajar menyeimbangkan langkah kecilnya, belajar tertawa tanpa beban. Tapi pada Selasa, 10 Juni 2025, ia menghilang begitu saja dari dapur rumah pengasuhnya di Gang Kapas, Kelurahan Sekip Lama, Singkawang Tengah.

Semuanya terjadi begitu cepat. Pintu belakang ditemukan terbuka. Tak ada suara. Tak ada jerit. Seolah angin malam datang dan membawa Rafa pergi tanpa peringatan. Keluarga dan warga setempat berlarian. Tiga hari dua malam mereka menyisir kota. Mulai dari gang sempit, semak liar, parit-parit dan jalan tikus. Polisi turun tangan. Warga memegang doa dan harap. Semua berharap bocah itu akan ditemukan sedang tertidur di pojok rumah tetangga. Tapi harapan itu remuk, membusuk di antara kenyataan pahit yang menampar seluruh negeri.

Jumat subuh, 13 Juni 2025. Di depan Masjid Jami Husnul Khatimah, sekitar 3,5 kilometer dari tempat Rafa menghilang, sesosok jasad mungil ditemukan. Diam, kaku, mengenakan pakaian yang sama seperti terakhir kali ia terlihat. Seolah waktu tak bergerak. Tubuh kecil itu, yang seharusnya berada di pelukan ibunya, malah tergeletak dingin di halaman rumah Allah. Tak ada luka tembak, tak ada jerat. Tapi luka paling dalam ada di benak kita semua, kenapa dan siapa?

Penyelidikan dimulai. Polisi memeriksa saksi, mengamankan rekaman CCTV, mengumpulkan sidik jari. Keheningan berubah menjadi kegelisahan massal. Warga mulai panik. WhatsApp grup keluarga berubah jadi forum intelijen. Netizen sibuk berspekulasi. Apakah ini penculikan oleh sindikat? Apakah Rafa korban perdagangan anak? Atau... lebih buruk lagi?

Ternyata, kenyataan lebih kejam dari teori paling liar sekalipun.

Jumat, 15 Juni 2025, aparat gabungan dari Polres Singkawang dan Resmob Polda Kalbar bergerak cepat. Di Jalan Budi Utomo, kawasan Pasar Hongkong Singkawang, mereka menciduk seorang pria. Namanya Uray Abadi. Usianya cukup untuk tahu mana benar mana salah. Tapi otaknya, entah tersesat di mana. Dihadapkan pada interogasi, ia tak menangis. Ia tak mengelak. Justru ia menjawab dengan wajah datar, seolah sedang melaporkan kehilangan sandal.

“Saya bawa ke masjid… mau sedekahkan.”

Kalimat itu. Enam kata yang merobek perut nurani siapa pun yang mendengarnya. Bagaimana mungkin ada manusia yang menganggap nyawa bocah tak berdosa sebagai barang sedekah? Rafa, balita 1 tahun 11 bulan, katanya dibekap mulutnya, dimasukkan ke dalam keranjang sepeda rusak, lalu dibawa ke masjid. Luka-luka pada tubuhnya, kata Uray, mungkin akibat besi tajam di keranjang. Mungkin? Ini bukan eksperimen sains. Ini pembunuhan. Ini pembantaian moral.

Ia melakukannya sendiri. Tanpa bantuan. Tanpa alasan logis. Polisi menduga motifnya masih diselidiki, tapi pengakuan awal menyebut ia sering disuruh membersihkan rumput oleh pengasuh Rafa. Apakah itu cukup untuk membuat seseorang membunuh bocah kecil? Membekap nafas mungil? Membawa tubuh tak bernyawa itu sejauh 3,5 kilometer lalu meletakkannya di halaman masjid seperti ia menyumbangkan karpet?

Ini bukan gangguan jiwa biasa. Ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan terhadap harapan. Kejahatan terhadap masa depan. Rafa bukan korban tunggal. Kita semua, satu masyarakat yang masih percaya akan kebaikan dan kasih sayang, menjadi korban dari logika yang telah dibunuh oleh manusia seperti Uray.

Kemarahan membara di hati warga Singkawang. Air mata ibu-ibu mengalir bukan hanya karena duka, tapi karena amarah yang tak sanggup diucapkan. Tidak ada kata maaf untuk pembunuh anak. Tidak ada pembenaran. Tidak ada belas kasihan. Hanya hukum, dan doa, agar Rafa mendapat keadilan yang tak bisa diberikan dunia ini.

Publisher : Timtas M-Krimsus#camanewak

Komentar0

Type above and press Enter to search.