PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Timnas voli kita, kalah wak. Sedih, sih. Namun, itulah pertandingan. Rivan Nurmulki cs masih harus banyak latihan lagi. Walau demikian, Indonesia satu-satunya wakil ASEAN di AVC 2025, tidak malu-maluin amat sih. Siapkan kopinya lagi, simak narasi ini agar otak tetap encer dan waras.
21 Juni 2025. Bahrain. Panasnya bukan main. Bahkan bola voli pun sempat meleleh sebelum wasit menyuruh pendinginan ulang. Di sanalah terjadi laga yang kelak akan dikenang sebagai kisah epik patah hati berbalut net dan smash, Indonesia vs Pakistan, perempat final AVC 2025.
Set pertama berjalan seperti dongeng. Indonesia memimpin 16-14, lalu 19-15, seperti rombongan rombongan kuda Pangeran Diponegoro yang siap menyerbu. Rivan Nurmulki melayang seperti burung Phoenix habis nonton anime, lalu menjatuhkan smash manis 24-20. Penonton di tribun sampai berdiri, ada yang menjerit, “Rivan, aku siap jadi istrimu!” Suasana gegap gempita. Bahkan ada yang pesan bakso dua mangkok sambil teriak “Set ini milik kita!” Benar, Indonesia menutup set pertama 25-20. Semua orang lupa bahwa ini malam Minggu dan mereka seharusnya sedang chatting sama gebetan.
Tapi seperti sinetron yang sudah masuk episode ke-245, set kedua adalah awal dari penderitaan. Pakistan mengganti strategi. Sang pelatih, Rahman Mohammadirad, yang konon dulunya perancang taktik catur di gurun pasir, menyulap pasukannya menjadi autobot. Indonesia sempat unggul 4-2, tapi kemudian Pakistan membalikkan dunia, 13-15, 18-22, dan akhirnya 20-25. Rakyat Indonesia mulai menunduk. Ada yang mencium sandal sendiri. Ada pula yang mengulang doa sapu jagat sambil menatap televisi.
Set ketiga bukan lagi pertandingan, ini adalah perang batin antara harapan dan kenyataan. Pakistan langsung tancap gas 7-3. Indonesia mengejar dengan gaya silat Rajawali Ngamuk, 10-12, 13-15, 17-18. Namun ketika semuanya hampir seimbang, datanglah tragedi, service error Jansen. Penonton yang tadinya tegang mendadak hening seperti sidang isbat Lebaran. Pakistan menang 25-20. Beberapa fans mulai unfollow akun resmi voli sambil bilang, “Aku butuh waktu sendiri.”
Masuk set keempat, Pakistan tak lagi bermain voli. Mereka seperti prajurit Sparta yang memakai block dan spike sebagai senjata utama. 5-8, 8-12, 13-17. Indonesia mencoba bertahan, tapi semuanya berakhir saat kepala Jansen kena smash langsung: Headshot. Pemain Pakistan buru-buru minta maaf, tapi wajah Jansen sudah seperti habis diceramahi mantan. Skor makin menjauh, 14-20, 16-24. Akhirnya, seperti daun jatuh yang tak pernah kembali ke rantingnya, Indonesia menyerah 17-25. Pakistan melaju ke semifinal. Indonesia? Terpaku di tanah, menatap langit.
Namun jangan salah. Dalam budaya voli Nusantara, kalah adalah awal dari latihan kemenangan sejati. Garuda memang jatuh, tapi bukan roboh. Ia hanya sedang menarik napas untuk terbang lebih tinggi, mungkin bukan semifinal, tapi peringkat 5-8 juga bukan tempat yang hina. Di sanalah harga diri dipertaruhkan. Di sanalah bakso akan kembali dipesan.
Namun kekalahan ini bukan kehancuran. Ini adalah fase. Dalam narasi epik nusantara, Garuda tak pernah benar-benar jatuh. Ia hanya merunduk, mengatur napas, mempersiapkan langkah untuk bangkit lebih tinggi, seperti Naruto yang dikira KO tapi ternyata mengaktifkan mode bijuu. Indonesia masih akan bertarung di klasifikasi 5–8, dan siapa tahu, dari reruntuhan ini, bangkitlah versi baru, Garuda X.
Karena kami tahu, para pemain ini bukan sekadar atlet. Mereka pendekar, pahlawan, dan seniman blok-spike. Walau kalah, Garuda tetap milik kami. Bukan karena trofi. Tapi karena mereka bertarung seperti cinta sejati: walau ditolak, tetap kembali dengan senyum dan smash keras ke masa depan.
Publisher : Timtas M-Krimsus#camanewak
Komentar0