Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Pontianak,Kalbar // Monitorkrimsus.com
Duh, apes benar 20 Kades ini. Niat hati nak meriahkan Agustusan, iuran sampai 60 juta. Pak Camat yang minta. Eh, belum juga meriah panjat pinang, sudah keburu ditangkap kejaksaan. Mari kita ungkap cerita absurd ini sambil makan bubur ayam di Sungai Jawi, Pontianak, wak.
Tanggal 24 Juli 2025 akan tercatat sebagai hari yang luar biasa agung. Hari di mana kejujuran dikalahkan dengan sangat telak oleh realitas. Hari di mana dua puluh kepala desa dan satu camat ditarik dari dunia fana ke dalam alam mimpi buruk bernama OTT, bukan Ojek Titip Tahu, tapi Operasi Tangkap Tangkaplah Aku Bila Kau Bisa.
Mereka bukan koruptor kelas kakap ala Pertamina. Mereka bukan Sekda Skw, bukan juga Kadis PUPR di utara. Mereka bukan kolektor jam tangan 17 miliar atau pemilik safe deposit box berisi 27 miliar uang cash yang belum sempat dimasukkan ke aplikasi pencatat. Mereka bukan politisi flamboyan dengan villa di Swiss, apartemen di Singapura, dan asisten pribadi dari Paris. Mereka hanya 20 kepala desa dan satu camat dari Kecamatan Pagar Gunung, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Total uang yang disita? Rp60 juta. "Sangahe lah," kata orang Dayak.
Bukan triliunan, bukan ratusan miliar, hanya enam lembar merah dikali sepuluh ribu kali. Nilainya bahkan tidak cukup untuk bikin konser Rhoma Irama di Palembang. Tapi efeknya? Meledak. Seluruh Indonesia tahu. Netizen menyeringai, aktivis bersorak, dan warganet sibuk cari nama desanya di peta.
Desa-desa suci yang terlibat antara lain Air Lingkar, Bandung Agung, Batu Rusa, Danau, Germidar Ilir, Germidar Ulu, Karang Agung, Kedaton, Kupang, Lesung Batu, Merindu, Muara Dua, Padang Pagun, Pagar Gunung, Pagar Alam, Penantian, Rimba Sujud, Sawah Darat, Siring Agung, dan Tanjung Agung. Dua puluh desa. Satu camat. Satu rapat. Satu cita-cita, merayakan HUT RI ke-80 dengan cara yang sangat Indonesia.
Dalih pungli mereka begitu mulia, sumbangan kegiatan, iuran forum, dana cadangan pembangunan. Semuanya terdengar seperti bagian dari buku pelajaran PPKn. Sayangnya, tak ada kurikulum yang bisa menyelamatkan mereka dari tangan Kejaksaan Negeri Lahat. Dengan gerakan lincah seperti narasi sinetron, mereka digelandang langsung ke Kejati Sumsel di Palembang. Lengkap. Serentak. Penuh semangat.
Tapi mari kita renungkan ini bersama. Enam puluh juta. Dua puluh orang. Berarti masing-masing hanya kebagian tiga jutaan. Itu bahkan tak cukup untuk membayar satu bulan cicilan motor trail pejabat. Itu bahkan kalah jauh dari honor influencer yang posting sekali endorse wafer. Lalu mengapa mereka tetap ditangkap?
Karena mereka lemah. Karena mereka bukan siapa-siapa. Karena mereka tak punya pangkat jenderal, tak punya partai besar, tak punya foto bareng presiden. Mereka cuma rakyat kecil yang bermain di liga para raksasa tanpa mengenakan sepatu bola. Mereka cuma ingin mencoba sedikit, sedikit sekali, dari gaya hidup elite. Tapi mereka lupa, di negeri ini, korupsi bukan tentang jumlah, tapi tentang siapa yang melakukannya.
Ayo kita jujur. Kalau mereka punya jabatan lebih tinggi, mungkin mereka akan diberi panggilan "saksi penting", bukan "tersangka pungli". Kalau mereka duduk di Senayan, bisa jadi mereka malah bikin pansus untuk menyelidiki kenapa mereka ditangkap. Tapi karena mereka hanya kepala desa, maka mereka akan dihukum sekeras-kerasnya. Karena yang kecil harus dijadikan contoh. Yang besar? Yah... dijadikan inspirasi.
Inilah puncaknya, jangan-jangan, enam puluh juta itu bukan untuk diri mereka sendiri. Jangan-jangan, itu betulan untuk meriahkan HUT RI. Bayangkan ironinya, uang pungli dipakai untuk merayakan kemerdekaan dari... penjajahan. Penjajahan apa? Penjajahan kejujuran oleh sistem yang cuma adil untuk yang kuat.
Kita tunggu seminggu ke depan. Apakah mereka akan benar-benar masuk penjara atau hanya “diklarifikasi sambil ngopi di ruang pendingin”.
Publisher : Krista#camanewak
Komentar0