Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorktimsus.com
Hari pertama masuk sekolah adalah peristiwa kosmis yang lebih dahsyat dari gerhana matahari total, lebih mengguncang dari resesi ekonomi, dan lebih emosional dari episode terakhir drama Korea. Inilah hari di mana ribuan anak Indonesia berhadapan langsung dengan musuh bebuyutan mereka, dunia nyata. Tak ada filter. Tak ada skip ad. Tak ada tombol "back to home screen". Yang ada hanya guru baru, teman baru, dan... kursi yang jadi rebutan seperti warisan nenek yang belum dibagi.
Di Jambi, anak-anak mengguncang jagat pendidikan dengan aksi tangis massal. Mereka bukan menangis biasa, tapi tangisan yang keluar dari sumsum tulang belakang terdalam, tangisan eksistensial. Seorang bocah TK berteriak, "Aku mau mamaaaa!" sambil menggenggam erat tiang bendera, seolah tiang itu adalah jembatan terakhir ke dunia aman bernama rumah. Ibunya yang sudah berdiri sejak subuh di halaman sekolah, hanya bisa memeluknya dengan mata berkaca-kaca, disaksikan para guru yang mencoba tersenyum sambil panik dalam hati.
Sementara itu di Lebak, Banten, pemandangan lebih dramatis terjadi. Seorang ayah rela datang pukul lima pagi agar anaknya bisa duduk di bangku terdepan, seperti hendak menonton konser Coldplay. Saat akhirnya sang anak berhasil duduk di kursi nomor satu, ayahnya selfie dengan caption, "Pejuang Kursi Depan." Sungguh bentuk cinta yang tak bisa ditakar dengan kalkulator.
Kursi memang menjadi entitas mistis di hari pertama sekolah. Di Pagedangan dan Muaro Jambi, rebutan kursi menjadi ajang survival paling keras sejak zaman gladiator Romawi. Anak-anak berlari lebih cepat dari sprinter Olimpiade, saling serobot bangku seperti pemburu diskon Harbolnas. Ada yang menangis karena tidak dapat duduk dekat sahabatnya. Ada juga yang kecewa karena dapat kursi belakang dan menganggap hidupnya takkan pernah sukses.
Guru dan panitia MPLS bagaikan pawang badai. Dengan persenjataan berupa lagu ceria dan permainan "Siapa Namamu", mereka mencoba menyelamatkan suasana. Di beberapa sekolah, guru menyambut murid dengan senyuman yang bisa mencairkan es di Kutub Utara, meski dalam hati mereka menjerit, “Tolong, siapa yang bisa tenangkan anak ini?!”
Lalu datanglah penyakit modern, adiksi digital. Anak-anak yang biasa hidup dengan TikTok, Roblox, dan YouTube, kini terlempar ke dunia yang tak bisa di-skip. Tanpa HP, mereka seperti ikan cupang dilepas di gurun Sahara. Mereka cemas, gelisah, menarik diri, dan ada yang mogok makan hanya karena sinyal WiFi sekolah terlalu lemah untuk main Mobile Legends. Beberapa bahkan tantrum saat HP-nya disita, seperti habis diputusin pacar secara live di Instagram.
Tapi jangan anggap ini sekadar drama. Ini adalah momen bersejarah dalam hidup anak-anak kita. Ini adalah transisi dari dunia maya ke dunia nyata. Ini adalah perjuangan melawan candu dopamin dan bangku kosong. Ini adalah revolusi kecil di benak anak-anak yang baru belajar bahwa hidup tidak semudah swipe kanan.
Saat anak akhirnya masuk kelas, duduk di kursi yang mungkin bukan favoritnya, sambil menyeka air mata, di situlah pendidikan dimulai. Bukan hanya dari buku, tapi dari drama hidup yang penuh pelajaran. Hari pertama sekolah bukan akhir dari liburan, tapi awal dari perjalanan panjang menuju kedewasaan, yang tentu saja, tetap diselingi rengekan, rebutan kursi, dan rindu pada HP kesayangan.
Jika uda uni, aa teteh melihat anak menangis di hari pertama sekolah, jangan buru-buru mengasihani. Barangkali itu tangisan jiwa yang sedang bergulat, antara realita penuh tugas, dan dunia digital penuh kesenangan semu.
Selamat datang di semester baru. Selamat datang di panggung drama pendidikan nasional. Mari kita mulai pertunjukannya, dengan tisu, filosofi, dan sinyal wifi yang terbatas.
“Name gak budak-budak, wak!” Itu ungkapan umum warga Pontianak ketika melihat tingkah polah anak. Harap dimaklumi. Memisahkan anak dari gadget itu pekerjaan paling berat bagi seorang ibu. Dengan bersekolah, semoga anak-anak kita lebih senang dunia nyata, ketimbang dunia maya.
Publisher : Krista#camanewak
Komentar0