TSriBSA8GfrlBSClGpMiGpYoGi==

Jaksa Muda Itu Gugur Saat Nguber Kades Korup

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitorkrimsus.com

Air itu tenang. Tapi siapa sangka, di balik arus yang mengalir diam-diam, sebuah tragedi agung telah menulis babak baru dalam sejarah hukum Indonesia. Nama itu, Reynanda Primta Ginting, 26 tahun, anak muda dari generasi calon penegak keadilan, baru saja lulus sebagai CASN Kejaksaan Agung tahun 2024, resmi bergabung sebagai calon jaksa angkatan 2025.

Namun takdir rupanya punya agenda lain. Ia tak pernah sempat mengecap aroma ruang sidang, tak pernah sempat membacakan dakwaan, tak sempat mengucap “menuntut hukuman seadil-adilnya”. Yang ia sempat hanyalah, melompat ke sungai, demi hukum, demi kebenaran, demi tugas.

Tanggal 2 Juli 2025, sore yang seharusnya biasa, menjadi mahkamah terbuka di alam bebas. Di sebuah kafe pinggir Sungai Silau, Kisaran, tim Pidsus Kejari Simalungun hendak menjemput dua saksi dugaan korupsi Dana Desa Banjar Hulu senilai Rp 400 juta, Pangulu Kardianto dan bendaharanya Bambang Surya Siregar.

Namun drama dimulai ketika Kardianto, Kepala Desa Banjar Hulu, Kecamatan Ujung Padang, Kabupaten Simalungun,Sumatera Utara. Orang di sana bisa menyebutnya, sang Pangulu. Si Penghulu ini sudah tiga kali mangkir dari panggilan kejaksaan. Ia memutuskan untuk tidak melawan dengan kata-kata. Tapi, dengan kakinya. Ia melompat ke Sungai Silau, meninggalkan kehormatan dan tanggung jawabnya di tepian.

Rey, tanpa ragu, mengikuti. Seorang jaksa muda yang belum genap sebulan bergabung, mengejar bukan hanya untuk menangkap, tapi untuk menyelamatkan. Ia tahu arus deras, tapi lebih deras lagi rasa tanggung jawabnya. Ia berhasil menarik Kardianto ke tepian, mengukuhkan satu bab kebaikan dalam hidup manusia yang berusaha lari dari kesalahan.

Namun alam punya harga untuk keadilan, arus menggila, pusaran berkhianat. Rey terseret.

Melihat Rey hanyut, Fahri, seorang warga, adik pemilik kafe, ikut melompat mencoba menyelamatkan sang penegak hukum. Tapi Sungai Silau seperti telah menandatangani surat penahanan bagi dua nyawa itu.

Esok harinya, jenazah Rey ditemukan 3 kilometer dari lokasi awal, dalam kondisi setengah terapung, seolah masih menggenggam tekad yang tak sempat ia sampaikan di ruang sidang. Fahri masih belum ditemukan, namanya kini mengalir bersama arus, mungkin akan menjadi legenda rakyat.

Kardianto? Ia kini diamankan oleh tim gabungan Kejari Simalungun dan Kejari Asahan. Ia hidup. Ia selamat. Di balik jeruji, ia akan mengingat satu hal, seorang jaksa muda rela mati untuk menangkapnya hidup-hidup.

Dalam kesunyian Kantor Kejaksaan Simalungun, Edison Sumitro Situmorang, Kasi Intelijen, hanya mampu berkata lirih: "Dia baru lulus tahun ini. Dia ikut tim karena loyalitasnya luar biasa."

Air mata hukum jatuh. Tak hanya untuk Rey, tapi untuk harapan yang tenggelam bersamanya. Di negeri di mana korupsi bisa hidup makmur dan penegak hukum harus mati muda, kita dipaksa menyaksikan: keadilan tak hanya buta, kadang ia butuh berkorban untuk bisa melihat.

Berapa nyawa yang harus terjun sebelum kita sadar bahwa korupsi bukan hanya pencurian uang, tapi pencurian masa depan, pencurian keadilan, dan pencurian nyawa?

Di negeri ini, pengejar koruptor bisa gugur seperti bunga liar yang tumbuh di tepi hukum. Tapi para koruptor? Mereka takkan mati. Mereka akan hidup nyaman, menyeduh teh, menyaksikan berita duka, lalu tertidur di balik sel yang penuh Wi-Fi dan kartu remi.

Lalu, kita? Kita hanya bisa menulis elegi, sambil menyeka air mata dan berharap tragedi ini cukup menyakitkan untuk menyadarkan hukum, bahwa kadang, yang benar bukan yang hidup. Tapi yang rela mati.

Reynanda Primta Ginting tidak gugur karena arus. Ia gugur sebagai martir kejujuran, sebagai simbol bahwa masih ada orang-orang yang bersedia mempertaruhkan nyawa demi satu pasal yang bersuara.

Di Sungai Silau, kini mengalir bukan hanya air, tapi kisah tentang keberanian yang terlalu agung untuk dunia yang terlalu murahan.

Publisher Krista#camanewak

Komentar0

Type above and press Enter to search.