Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Kalau ngikuti kisah konflik Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, merinding bulu kuduk. Tragis dan dramatis. Saya juga bingung, yang salah itu siapa sih. Kebetulan provinsi saya, Kalbar punya Taman Nasional juga. Ada baiknya Bumi Khatulistiwa belajar dari negeri Lancang Kuning itu. Jangan ada konflik agraria di lahan negara. Mari kita ungkap kisah rakyat vs negara di negeri yang baru saja mengguncang dunia dengan pacu jalurnya.
Bayangkan ini, wak! Sebuah hutan megah, rumah harimau, sungai-sungai keramat, dan angin yang dulu menyanyikan lagu alam, kini berubah jadi lokasi syuting sinetron konflik agraria, versi panjang, berdarah-darah, dan penuh aktor negara, rakyat, serta korporasi sawit. Selamat datang di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, tempat di mana bulldozer lebih galak dari harimau, dan sertifikat tanah bisa tiba-tiba dianggap kertas bekas.
Di sana, rakyat transmigran dari era Orde Baru, yang sejak 1998 membabat lahan bekas HPH yang sudah kopong dan gundul, kini disebut sebagai perambah liar. Padahal mereka sudah membangun sekolah, jalan, bahkan mimpi anak-anak mereka. Kini, mereka dapat surat cinta dari negara, relokasi atau angkat kaki sebelum 22 Agustus 2025. Lokasi relokasi? Pulau Mendol. Tanah bergambut, penuh konflik, dan cukup jauh dari peradaban, cocok untuk novel distopia tapi bukan untuk hidup manusia.
Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) menancapkan plang-plang penguasaan negara di 81.000 ha, seperti Columbus menemukan Amerika, seolah-olah rakyat tidak pernah ada. Demo pun meledak. Ribuan warga Pelalawan dan Indragiri Hulu, ditemani mahasiswa, menduduki Kantor Gubernur Riau pada 21 Juli 2025. Poster terangkat, suara lantang, dan rakyat berteriak, “Kami bukan perambah! Kami hidup di sini sejak kamu masih main Tamiya!”
Sementara itu, para korporasi sawit ilegal tetap adem ayem di zona penyangga. Enam perusahaan besar yang mempercepat degradasi hutan, menurut WALHI, tampaknya punya jubah gaib ala Harry Potter, tak pernah tersentuh bulldozer negara. Anehnya, negara justru lebih gesit mengejar petani dengan dua hektare sawit dan surat tanah warisan.
Jaksa Agung pun muncul sebagai cameo yang meledak, korupsi, dokumen palsu, permainan mafia tanah! Tapi seperti biasa, kita masih menunggu episode “penyelesaian hukum” yang sepertinya butuh tiga musim lagi dan rating tinggi.
Lalu bagaimana dengan Kalimantan Barat? Wahai Tanah Borneo yang masih hijau (tapi sudah mulai menguning di beberapa tempat), belajarlah dari TNTN! Kalbar punya empat taman nasional utama yang masing-masing adalah istana ekologi dan mahakarya Tuhan.
Ada Danau Sentarum, danau musiman di Kapuas Hulu, jadi lahan basah 10 bulan dalam setahun dan rumah bagi 675 spesies, termasuk 154 jenis anggrek langka. Ada Betung Kerihun, hutan perbatasan dengan Malaysia, dengan 8 tipe ekosistem dan luas 800.000 ha, luar biasa, tapi juga luar biasa rawan diserobot kalau kita abai. Ada Gunung Palung, rumah terakhir orangutan yang tersisa, dengan hutan rawa dan gunung yang seharusnya jadi tempat ziarah ekologis, bukan titik api. Terakhir, Taman Nasional Bukit Baka – Bukit Raya, hutan pegunungan Kalbar-Kalteng, rumah beruang madu, bekantan, dan dulu, badak sumatera (sekarang tinggal kenangan, terima kasih perambahan).
Jika Kalbar tidak ingin mengulang babak Tesso Nilo, maka jagalah hutan bukan dengan seragam dan plang, tapi dengan keadilan ekologis dan sosial. Dengarkan rakyat sebelum mereka turun ke jalan. Bersihkan korporat besar sebelum mengusir petani kecil. Lindungi hutan sebelum berubah jadi showroom traktor sawit.
Karena sekali konflik meledak, tak ada yang menang. Hanya hutan yang lenyap. Hanya harimau yang menangis. Hanya kita yang menonton, bingung mau bela siapa.
Harimau hilang tak tampak jejak,
Sawit menjalar tak kenal batas.
Rakyat bersuara menuntut hak,
Negara menjawab dengan relokasi terbatas.
Taman Kalbar masih berjaya,
Danau Sentarum hingga Gunung Palung.
Belajarlah sebelum derita menyapa,
Jangan tunggu hutan tinggal selubung.
Publisher : Krista#camanewak
Komentar0