TSriBSA8GfrlBSClGpMiGpYoGi==

Kenapa Kalbar Diam saat Dua Pulaunya Mutasi ke Kepri?

Oleh Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitorkrimsus.com

Ini tulisan saya kedua tentang mutasinya dua pulau milik Kalbar ke Kepri. Tulisan pertama tidak banyak mendapat reaksi. Justru ada yang menanggapi dengan nada bercanda, “Udah sedekahkan saja, nanti pahalanya berlipat-libat!” Terus terang saya sangat geram. “Wak, ini pulau, bukan sembako!” Kali ini saya mencoba memprovokasi orang Kalbar, Ormas, mahasiswa, termasuk Gubernur untuk bersuara. 

Bayangkan ini, wak! Dua pulau kecil secara administratif sah milik Kalbar. Dua pulau itu, Pengekek Besar dan Pengekek Kecil. Sekarang, mendadak tidak lagi menjadi bagian Bumi Khatulistiwa. Mereka dicabut, disobek dari peta hati Borneo, digeser, dipindahkan seperti catur yang dimainkan dari jarak ribuan kilometer. Selembar kertas bernama Keputusan Mendagri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022 menyihir mereka. Tidak ada mantra. Tidak ada guntur. Hanya tinta di atas kertas, dan abrakadabra, mereka kini milik Kepri.

Apa yang lebih menyakitkan dari kehilangan tanpa perlawanan? Apa yang lebih pahit dari menyaksikan anakmu diambil dari pelukanmu, sementara direk sibuk mengaduk kopi? Begitulah Kalbar hari ini, diam. Gubernurnya diam. Pemprov-nya seperti ditarik gravitasi ke dalam lumpur ketidakpedulian. Suaranya tenggelam, atau barang kali memang tidak pernah ada. Sementara rakyat di pesisir, nelayan-nelayan tua, petani kelapa, anak-anak sekolah dasar yang menggambar peta Kalbar dengan bangga, mereka tidak diberi tahu apa-apa. Tiba-tiba alamat berubah. Tiba-tiba laut berubah nama. Tiba-tiba bendera yang berkibar tak lagi sama.

Tidak ada sirine. Tidak ada peringatan. Tidak ada satu pun upaya membunyikan genderang bahaya. Hanya Aloysius, Ketua DPRD Kalbar, yang bicara dengan getir. Tapi ia bicara seperti orang yang mengetuk pintu rumah yang sudah dijual. Ia minta data historis, ia ingin rapat internal, ia usul peninjauan ulang. Terlambat? Barang kali. Tapi lebih baik terlambat dari pada ikut-ikutan tidur di ruang gelap bernama apatisme.

Sementara itu, Gubernur Kalbar seperti dewa mitos yang menghilang dari altar. Apakah beliau tidak mendengar? Atau barang kali beliau percaya dua pulau itu memang sudah tidak penting. Mungkin beliau pikir pulau kecil tidak bisa bicara, tidak bisa menulis surat protes, tidak bisa mendatangi istana dengan banner dan megafon. Tapi tahukah Bapak, bahwa pulau juga bisa menangis? Tangis yang tak terdengar, tapi mampu membelah laut dan langit. Tangis itu kini menggenang di dada anak-anak Kalbar yang bingung, mengapa tanah air mereka diambil tanpa perang?

Betapa lucunya negeri ini. Negeri yang punya dinas, punya peta digital, punya pejabat dengan gelar panjang seperti kereta api, tapi tak mampu menjaga dua pulau kecil agar tidak mengembara ke provinsi lain. Jika hari ini Pengekek Besar dan Kecil bisa hilang dari pelukan Kalbar, apa yang menjamin besok Pulau Temajo tidak ikut-ikutan kabur ke tetangga? Atau barang kali Kota Singkawang suatu hari bangun pagi lalu mendapati dirinya sudah menjadi bagian dari Singapura?

Kemudian, perlu mau dikasih tahu ni, akan pentingnya keberadaan sebuah pulau. Pulau-pulau kecil memiliki arti strategis yang sangat besar dalam geopolitik, bukan sekadar hamparan daratan di tengah laut. Keberadaan mereka menentukan batas kedaulatan suatu negara, menjadi penentu garis zona ekonomi eksklusif (ZEE) hingga 200 mil laut, yang berarti kontrol atas sumber daya laut yang sangat melimpah: ikan, minyak, gas, dan mineral dasar laut. Dalam kacamata hukum internasional, seperti UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), pulau sekecil apapun yang bisa menopang kehidupan manusia dapat memperluas wilayah yurisdiksi negara. Oleh karena itu, pulau kecil bukan hanya perkara geografi, melainkan penopang klaim kekuasaan atas laut dan udara di sekitarnya.

Selain sebagai alat perluasan yurisdiksi, pulau-pulau kecil juga berfungsi sebagai pos strategis militer dan diplomasi. Di masa damai, mereka bisa digunakan sebagai pangkalan patroli keamanan maritim atau pelabuhan transit internasional. Di masa genting, mereka menjadi benteng pertahanan yang sulit dijangkau dan kerap jadi titik rebutan. Kehilangan satu pulau kecil saja bisa berarti hilangnya kedaulatan atas wilayah laut luas di sekitarnya, membuka celah konflik antarnegara, bahkan ancaman aneksasi diam-diam. Itulah mengapa mempertahankan eksistensi dan status administratif pulau-pulau kecil harus menjadi prioritas utama setiap negara maritim.

So, ini bukan sekadar soal administratif. Ini bukan urusan siapa tanda tangan di surat mana. Ini soal harga diri. Soal wibawa. Soal keberanian menjaga rumah sendiri. Jika pemimpin kita hanya bisa tersenyum pasrah melihat batas wilayah bergeser seenaknya, maka sesungguhnya mereka tak lebih dari penonton dalam sandiwara pemerintahan.

Pulau itu tidak punya suara. Maka izinkan kami, rakyat Kalbar, yang berteriak untuk mereka, kembalikan yang menjadi milik kami! Jangan jadikan laut dan darat sebagai papan catur kekuasaan diam-diam! Jika Kalbar kehilangan dua pulau ini karena diam, maka dosa itu bukan cuma administratif. Itu adalah dosa sejarah.

Tulisan ini bagian dari upaya berjuang agar dua pulau itu bisa dikembalikan ke Kalbar lagi. Harus ada perlawanan. “Bukan diam baek!” 

Publisher : Krista#camanewak

Komentar0

Type above and press Enter to search.