Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorktimsus.com
Saya secara subjektif menggelarinya wanita ini paling pemberani dunia abad ini. Apa keberaniannya? Dia melawan Israel lewat tulisan dan diplomasi dunia. Mari kita berkenalan mojang asal Italia ini yang tak kenal takut melawan kebiadaban negara Zionist. Siapkan kopi tanpa gulanya agar otak tetap encer dan waras, tak mudah baperan.
Di zaman ketika moralitas ditukar dengan saham, dan nyawa manusia nilainya kalah dari saham Amazon dan Booking.com, muncul satu nama yang bukan sekadar pelapor, tapi penyalak nurani dunia, Francesca P. Albanese. Ia tidak datang membawa senjata, tapi membawa sesuatu yang jauh lebih mematikan bagi kekuasaan yang zalim, kebenaran.
Lahir pada 30 Maret 1977 di Ariano Irpino, Italia, Francesca adalah contoh sempurna dari paradoks, seorang perempuan lembut, akademisi tenang, namun kalimat-kalimatnya bisa mengguncang fondasi diplomasi internasional yang beku. Lulusan cum laude dari Universitas Pisa di bidang hukum, kemudian meraih gelar Master of Laws bidang Hak Asasi Manusia dari SOAS University of London, dan kini sedang menyelesaikan Ph.D di Universitas Amsterdam dalam hukum pengungsi internasional, Francesca bukan cuma cerdas, dia berbahaya bagi mereka yang menyembunyikan kejahatan di balik perjanjian dagang.
Sebagai Pelapor Khusus PBB untuk wilayah Palestina yang diduduki sejak 1967 (sejak Mei 2022), Francesca berdiri di podium Dewan HAM PBB dan menggugat dunia, “Israel bertanggung jawab atas salah satu genosida paling kejam dalam sejarah modern.”
Boom! Suara itu lebih meledak dari 85.000 ton bahan peledak yang telah dijatuhkan ke Gaza, senjata-senjata canggih yang katanya untuk “pertahanan diri”, tapi hasilnya adalah kuburan massal. Gaza, menurut Francesca, telah dijadikan laboratorium militer, tempat Israel menguji coba drone pembunuh, radar pintar, dan bom yang lebih “efisien”. Dan siapa investor riset ini? Amazon, Microsoft, BNP Paribas, Booking, Hyundai, daftar dosa yang tidak bisa disimpan dalam Excel.
Francesca tidak asing dengan penderitaan Palestina. Ia pernah bekerja di Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM (OHCHR), dan di Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). Dia bukan komentator. Dia saksi sejarah yang memilih menulis dengan tinta keberanian.
Ia bahkan menyebut Gaza Humanitarian Foundation, yayasan bantuan yang dibentuk Israel, sebagai jebakan kematian. Di sana, 33 pencari bantuan dibantai. Bantuan yang seharusnya menyelamatkan justru mengundang rudal. “Air dan roti dibagikan, lalu roket diluncurkan,” begitu kira-kira prinsip kerjanya.
Data tak berhenti, lebih dari 200.000 warga Palestina telah tewas atau terluka. Dalam dua hari terakhir saja, 26 pembantaian dilakukan. Sekolah, rumah sakit, pasar, tenda pengungsi, tidak satu pun luput. Direktur RS Indonesia pun ikut menjadi target, seolah membawa stetoskop dianggap tindakan subversif.
Di tengah itu semua, Francesca menulis laporan yang menyebut 48 perusahaan internasional sebagai bagian dari ekonomi pendudukan. Bukan cuma produsen senjata, tapi juga bank, raksasa energi, universitas, dan bahkan situs pariwisata. “Koloni-koloni menyebar, dibiayai bank, didukung energi fosil, dinormalisasi oleh supermarket,” katanya. Dunia yang dulu menyebut dirinya bebas, kini justru menjadi kurir bagi kolonialisme pemukim.
Francesca tidak berhenti di laporan. Ia secara resmi menghubungi semua perusahaan itu, memberikan data hukum, menunjukkan pelanggaran demi pelanggaran terhadap hak menentukan nasib sendiri, hak asasi manusia, hingga potensi keterlibatan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, bahkan genosida. Dari 48 perusahaan, hanya 18 yang merespons, dan hanya beberapa yang menunjukkan itikad baik. Sisanya? Menyalahkan gravitasi, mungkin.
“Mereka tidak mengerti hukum internasional. Mereka pikir hukum itu cuma alat untuk menghindar dari tanggung jawab,” tegas Francesca.
Itu bukan pendapat semata. Ia telah menulis buku seperti Palestinian Refugees in International Law (Oxford University Press, 2020) dan J’Accuse (2024), serta mendirikan Global Network on the Question of Palestine (GNQP). Akademik? Ya. Aktivis? Jelas. Tapi di atas semua itu, ia manusia yang tidak takut melawan mesin penghancur yang disembah dunia: kapitalisme berdarah.
Dalam situasi absurd ini, Francesca berdiri tegak sebagai satu dari sedikit makhluk hidup yang masih menyebut genosida sebagai genosida. Di saat dunia memilih diam, karena saham naik, karena rapat dagang penting, atau karena mereka takut kehilangan kerja sama militer, dia memanggil nama-nama korporasi besar dan menyodorkan cermin. Di cermin itu, tampak wajah mereka, bukan pahlawan perdamaian, tapi penjahat berseragam bisnis.
Francesca P. Albanese telah melakukan lebih banyak dari apa yang dilakukan negara-negara besar yang katanya pembela hak asasi manusia. Suaranya adalah doa yang marah, gugatan yang membakar, dan sinar yang menembus pekat propaganda.
Lalu, kita? Kita punya dua pilihan, ikut diam dan menjadi bagian dari sejarah kelam ini... atau ikut berdiri bersama Francesca, dan membuktikan bahwa manusia belum sepenuhnya binasa.
Karena jika dunia membiarkan ini terus terjadi, maka sejarah akan mencatat bahwa Gaza bukan sekadar lokasi geografi, melainkan monumen kegagalan kemanusiaan global.
Publisher : Krista#camanewak
Komentar0