Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Kembali ke laptop. Kebetulan udah agak lama tak bahas sinetron tak berujung, ijazah Jokowi. Pas ada momentum hari ini (9/7/2025) ada gelar perkara khusus terkait dugaan ijazah palsu digelar Bareskrim Polri. Yang satu tetap dengan pendiriannya, ijazah itu palsu. Satunya lagi ngotot, asli. Mari kita ungkap sambil seruput kopi liberika agar otak tetap encer dan waras, wak!
Jakarta kembali gaduh. Bukan karena banjir, bukan karena konser dangdut, tapi karena selembar ijazah yang kini telah menjelma menjadi kitab suci kontroversial, pusat perhatian nasional, dan mungkin bisa mengguncang langit ke-7 demokrasi. Di tengah hiruk pikuk negara yang katanya sedang on track menuju Indonesia Emas, Polri malah menggelar satu gelar perkara, dugaan ijazah palsu Presiden Republik Indonesia ke-7, Joko Widodo.
Acara sakral ini digelar bukan di Mahkamah Konstitusi atau forum internasional PBB, tapi di ruang gelar perkara Bareskrim. Bukan persidangan, katanya. Hanya semacam arisan investigasi internal. Tapi atmosfernya panas membara, seolah-olah para penyidik sedang memutuskan nasib dunia. Tokoh-tokoh berkumpul, lengkap seperti reuni Avengers, tapi versi Republik. Ada Rizal Fadillah yang penuh semangat nasionalis, Roy Suryo yang membawa senjata analisis telematika, dan Rismon Sianipar, dewa digital forensik yang konon bisa membedakan piksel-piksel kebenaran dari kebohongan berbentuk JPEG.
Namun, sang tokoh utama, ayah Gibran, tidak hadir. Bukan karena malas, bukan pula karena takut. Tapi karena... alergi kulit. Ya, ini bukan satire. Ini fakta. Seorang mantan kepala negara absen dari perkara paling kontroversial dalam hidupnya.
Wakilnya adalah Yakup Hasibuan, pengacara flamboyan yang tampaknya telah bersumpah untuk membela ijazah sampai titik koma terakhir. Dengan tenang namun menusuk, ia mengatakan bahwa ijazah Jokowi sudah pernah diperiksa oleh Puslabfor Polri, bukan oleh dukun atau peramal, tapi institusi forensik resmi. Jadi, ngapain diangkat-angkat lagi? Kalau Puslabfor bilang asli, ngapain lagi dipertanyakan.
Namun Roy Suryo, yang konon lebih hafal struktur ijazah UGM, tidak menyerah. Dengan teknologi Error Level Analysis, ia menunjuk foto dan logo di ijazah Jokowi yang katanya "tidak konsisten" dan “blur tingkat dewa.” Ia juga menyuguhkan analisis face recognition, katanya wajah di ijazah Jokowi lebih mirip dengan seseorang berinisial DBU. Publik pun geger, siapa DBU ini? Misteri yang hanya bisa dipecahkan oleh Google atau KPU.
Tak berhenti di situ, Roy juga menyebut bahwa dekan fakultas kehutanan UGM yang tercantum di ijazah baru menjadi profesor beberapa bulan setelah ijazah itu terbit. Katanya, “Ini seperti menonton film yang tayang sebelum diproduksi.” Logikanya memang absurd, tapi dalam dunia ijazah digital, semua mungkin. Apalagi Rismon Sianipar menuding, “Kenapa versi digital ijazah nggak ditampilkan? Takut? Jangan-jangan isinya cuma watermark dan harapan.”
Tim hukum Jokowi pun mencak-mencak. “Kami tidak punya kewajiban menunjukkan ijazah ke publik. Ini negara hukum, bukan kontes pamer ijazah!” Bahkan mereka menyebut pihak pelapor tidak punya legal standing, karena bukan peserta pemilu, bukan korban, dan bukan dosen pembimbing Jokowi waktu kuliah. Singkatnya, siapa elu?
Begitulah, wak! Di negeri ini, ijazah bukan hanya dokumen pendidikan. Ia bisa menjelma jadi alat politik, senjata wacana, bahkan pemantik revolusi TikTok. Sementara rakyat bingung harus percaya siapa? Satu hal jadi pasti, kulit bisa gatal, tapi demokrasi tetap harus digaruk, sampai ketemu skripsi asli atau faksimile kejujuran nasional.
Kasus ini mungkin belum selesai, tapi satu hal pasti, ini adalah gelar perkara paling teatrikal tahun ini. Kita menunggu apakah nanti akan ada plot twist, seperti tiba-tiba Roy Suryo kuliah S3 jurusan Ijazahologi, atau Rismon menemukan skripsi Jokowi tersembunyi di balik lukisan Monalisa.
Sementara itu, kita duduk manis, menunggu. Karena di negeri ini, kadang kebenaran hukum butuh sedikit... drama.
Publisher : Krista#camanewak
Komentar0