Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
KPK terus bergerak untuk menuntaskan kasus korupsi elit di Pemprov Sumatera Utara. Usai mengkerangkeng lima dedengkot koruptor, lembaga anti rasuah itu mulai menggeledah rumah. Kali ini giliran rumah Topan Obaja Putra (TOP) Ginting disisir sudut demi sudut, dan ditemukan uang Rp2,8 miliar. Luar biasa, wak! Para pengkhianat rakyat, kaum bedebah memperkaya diri sendiri. Siapkan kopi tanpa gula lagi, kali ini lebih seru ceritanya.
Kita mulai ceritanya sambil seruput kopi liberika. Pada suatu siang yang terik di negeri dengan lubang jalan lebih banyak dari lubang logika, KPK turun dari langit seperti superhero Marvel tanpa CGI. Mereka tidak membawa palu Thor, tapi membawa surat penggeledahan. Targetnya, rumah TOP Ginting, Kepala Dinas PUPR Sumatera Utara yang sudah nonaktif, tapi dompetnya masih sangat aktif.
Apa yang mereka temukan? Bukan sekadar cangkul atau maket jalan tol, tapi 28 pack uang tunai senilai Rp2,8 miliar. Uang itu tersusun rapi seperti parcel lebaran. Sungguh, jika korupsi adalah seni, maka TOP adalah Leonardo da Vinci-nya. Dengan keanggunan seorang kolektor, ia menyimpan uang rakyat dalam bentuk fisik, agar bisa dipeluk setiap malam sebelum tidur. Mungkin uang itu punya aroma aspal basah dan penderitaan rakyat.
Tak cukup dengan uang, KPK juga menemukan dua pucuk senjata api. Karena apa? Mungkin TOP khawatir rakyat yang kakinya terkilir karena jalan rusak akan menyerbu rumahnya sambil membawa surat keluhan. Atau barang kali, dia bercita-cita main film laga, Die Hard: Dana Infrastruktur Edition.
Namun, TOP tidak sendiri di medan laga korupsi ini. Dalam drama politik berseri yang lebih panjang dari Dracin “Moonlight Mystiqu. KPK menetapkan lima tersangka. Selain TOP, ada Rasuli Efendi Siregar, Kepala UPTD Gunung Tua, lalu Heliyanto, PPK Satker PJN Wilayah I Sumut. Dua lainnya dari pihak swasta, Akhirun Efendi Siregar, Dirut PT DNG dan Rayhan Dulasmi Pilang, Dirut PT RN.
Modusnya sederhana tapi klasik. Pihak swasta menyuap agar menang tender proyek jalan. Jalan mana? Jalan yang akan ho (kamu) lewati setiap hari sambil mengumpat karena aspalnya seperti habis ditaburi ranjau darat. Jalan itu sebenarnya disiapkan untuk dilewati kendaraan, bukan untuk menantang adrenalin.
Operasi Tangkap Tangan (OTT) terjadi pada 26 Juni 2025, dengan manuver KPK yang begitu elegan hingga membuat film Mission: Impossible tampak seperti seminar PPKN. Di tanggal 2 Juli 2025, publik terkejut bukan karena ada korupsi, tapi karena nominalnya hanya Rp2,8 miliar. “Lho, kok kecil?”begitu kata netizen yang sudah terlalu akrab dengan triliunan.
Gubernur Sumut Bobby Nasution, yang dikenal dekat dengan TOP, langsung tampil dalam konferensi pers. Dengan nada tegas tapi ambigu, ia berkata, “Sudah pastilah dinonaktifkan.” Seperti menonaktifkan Wi-Fi yang error. Bobby juga menolak beri bantuan hukum. “Biar dia sendiri saja di medan perang moralitas,” katanya, mungkin, dalam hati.
Di titik ini kita merenung, mengapa jalan kita selalu rusak padahal dana triliunan terus digelontorkan? Jawabannya ternyata sederhana, karena uangnya tidak sampai ke jalan. Ia berhenti di meja, masuk tas, dilipat, dan akhirnya tidur manis di bawah bantal pejabat.
Sungguh, jika jalan adalah metafora bangsa, maka kerusakan jalannya adalah simbol bahwa kita sedang menuju jurang, dengan kecepatan penuh, tanpa rem, dan sopirnya korup.
Rakyat tidak butuh drama. Rakyat hanya ingin jalan yang lurus, seperti harapan mereka yang sering dibelokkan oleh proyek. Tapi di negeri ini, jalan rusak bisa diperbaiki, sementara moral yang rusak... mungkin sudah dilelang.
Selamat menikmati jalanan bergelombang, wahai rakyat. Jika nuan merasa pusing saat berkendara, itu bukan karena jalan rusak, tapi karena rasa muak yang njenengan tahan selama ini.
Foto Ai hanya ilustrasi saja, bukan sebenarnya.
Publisher : Krista#camanewak
Komentar0