Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Sumastro bukan sekadar nama. Ia adalah teater berjalan. Seorang pejabat tinggi yang sempat menatap kamera dengan ekspresi suci, membusungkan dada di atas flyer resmi bertema “Teguhkan Komitmen Berantas Korupsi untuk Indonesia Maju.” Tahun 2024, ia tampil sebagai pahlawan moral. Tahun 2025, ia tampil sebagai simbol kemunafikan akut. Transformasi yang begitu halus, begitu mulus, hingga Plato pun pasti ingin menulis bab khusus tentang dia dalam The Republic edisi satire.
Inilah puncak paradoks, orang yang paling keras bersumpah memberantas korupsi, ternyata adalah orang yang sedang menyembunyikan linggis di balik jasnya. Sumastro, bukan sekadar pejabat, tapi simbol sempurna dari mental ambivalen. Satu kaki di panggung integritas, kaki lainnya tenggelam dalam lumpur kepentingan pribadi.
Flyer itu kini terasa seperti naskah lelucon murahan, sebuah wajah berminyak kejujuran, di atas teks pengingat perjuangan moral. Tapi yang tidak kita sadari waktu itu, flyer itu bukan ajakan, melainkan spoiler film dokumenter korupsi yang belum tayang. Sebuah iklan ironi, bertema, “Pejabat Bicara Kebenaran, Sambil Mencicil Kebusukan.”
"Ayap inyan ye, wak," kata Matasam dengan logat Sambas, artinya parah benar, dah.
Bayangkan, wak! Tahun lalu ia menegaskan komitmen pemberantasan korupsi. Tahun ini, ia justru jadi bahan pemberantasan itu sendiri. Ini bukan hanya sekadar jatuh. Ini terjun bebas dari menara moralitas, tanpa parasut nurani.
Bila korupsi adalah penyakit, maka Sumastro adalah virus yang menyamar sebagai vaksin. Ia menyuntikkan retorika, menyebarkan ilusi, dan memberi rasa aman palsu kepada masyarakat. Seolah-olah, kita dijaga. Padahal, penjaganya sedang menggesek ATM di balik tirai jabatan.
Bukankah ini yang paling menjijikkan dari korupsi? Bukan soal jumlah uangnya. Tapi pengkhianatan diam-diam terhadap semua kata-kata luhur yang dulu dia ucapkan. Setiap “transparansi” yang dia katakan di podium, kini menjadi ejekan. Setiap “komitmen” yang ditulis di baliho, kini adalah grafiti kotor di dinding penjara.
Dalam tradisi para munafik, kata-kata indah adalah kostum. Mereka tahu, rakyat lapar akan janji. Maka janji ditabur, sementara uang diangkut. Sumastro hanya meneruskan seni ini dengan lebih anggun, lebih akademik, lebih formal, lebih rapi. Bahkan korupsinya pun dicicil. Sungguh, sebuah karya arsitektur kebusukan yang bisa jadi studi kasus untuk generasi berikutnya.
Jangan lupakan flyer itu. Karena sesungguhnya, di sanalah letak dosa paling besar. Bukan pada uang yang digelapkan, tapi pada wajah yang dipoles kejujuran palsu. Pada sorot mata yang menyiratkan harapan, tapi ternyata hanya bayangan cermin, yang memantulkan siapa yang ingin ia tipu, kita semua.
Bila teater klasik Yunani mengajarkan tragedi sebagai kematian pahlawan, maka tragedi Indonesia hari ini adalah pahlawan yang ternyata maling. Lebih buruk dari maling biasa, Sumastro mencuri sambil mengajar kita untuk jujur.
Begitulah nasib negeri yang pemimpinnya pandai bersandiwara. Mereka menyampaikan pesan antikorupsi dengan nada oratoris, sambil menyusun kuitansi fiktif di ruang belakang. Mereka tersenyum kepada rakyat, lalu menangis bersama penyidik saat topengnya dilepas.
Sumastro tak hanya bersalah. Ia menghina kecerdasan publik. Ia menginjak-injak makna “komitmen.” Ia menjadikan antikorupsi bukan sebagai perjuangan, tapi sebagai dekorasi, hanya tempelan manis untuk mendulang kepercayaan, yang segera ditukar dengan kekuasaan dan fasilitas.
Kini, rompi pink telah menggantikan jas hitamnya. Tapi jangan harap ini akhir cerita. Karena lakon seperti Sumastro tak pernah benar-benar hilang. Mereka hanya berganti nama, berganti panggung, dan terus membisikkan janji manis, yang ujungnya tetap, pengkhianatan.
Indonesia tak butuh pejabat yang bisa berpidato soal integritas. Kita butuh pejabat yang tidak menjadikan integritas sebagai naskah sandiwara. Sumastro, telah memainkan peran sebaliknya, aktor utama dalam lakon antikorupsi paling munafik yang pernah dipentaskan Singkawang.
Oh iya, esok saya ke Singkawang, rencana nginap semalam. Doa agar tidur nyenyak di sana.
Publisher : Krista#camanewak
Komentar0