Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Motorkrimsus.co
Disclamer, ini hanya fiksi, mencoba menghadirkan detektif top dunia. Tujuannya untuk memecahkan penyebab kematian sang diplomat muda. Siapa tahu dengan kehadiran para detektif secara fiksi ini, penasaran netizen terobati. Mari kita ungkap sambil seruput kopi tanpa gula lagi, wak!
Menteng, Jakarta, Juli 2025. Seorang diplomat muda, Arya Daru Pangayunan, ditemukan tak bernyawa di kamar kos nomor 105. Ia tidak digorok. Tidak ditembak. Tidak dicekoki racun arsenik seperti dalam novel klasik Agatha Christie. Ia hanya... terbaring, tenang, dengan kepala terbalut plastik dan lakban kuning. Ini seperti hadiah rahasia yang ditolak Dewa dan diabaikan negara. Tubuhnya dibungkus selimut, napasnya telah hilang, namun teka-tekinya justru hidup. Lalu, publik? Masih menggigit lidah menahan tanda tanya yang makin lama makin terasa seperti siksaan intelektual.
Polisi menyimpulkan, tidak ada tindak pidana, tidak ada kekerasan, tidak ada racun, tidak ada DNA lain, tidak ada bukti pembunuhan. Tapi juga... tidak menyimpulkan bunuh diri. Ini bukan kebodohan. Ini strategi tingkat tinggi, menunda kebenaran agar tidak disalahkan siapa pun bila akhirnya salah. Mereka bahkan berkata, “Kami tak mau disebut gegabah.” Sementara jasad Arya sudah membusuk, logika penyelidikan justru dibekukan di lemari pendingin kepastian.
CCTV memperlihatkan Arya terakhir kali terlihat di Grand Indonesia bersama dua orang teman, lalu naik ke rooftop Gedung Kemlu sendirian, lalu... menghilang. Tanpa drama. Tanpa catatan perpisahan. Tanpa gestur klise orang yang akan mengakhiri hidup. Esok paginya, ia ditemukan dalam posisi yang akan membuat Sherlock Holmes bangkit dari kubur hanya untuk menggeleng pelan, kepala dibungkus plastik, dililit lakban tanpa ada satu pun sidik jari lain.
Kita bahas ini dengan logika detektif kelas dunia. Holmes akan menolak teori bunuh diri karena pelakunya tak akan mungkin bisa membungkus wajahnya sendiri dengan plastik secara simetris sambil melilitkan lakban dengan presisi industri. Hercule Poirot akan mempertanyakan motif, kenapa orang ceria, berprestasi, siap berangkat tugas ke Finlandia, mati dengan cara seperti korban ritual? Columbo akan curiga pada detail yang tak masuk akal, kenapa alat kontrasepsi jadi salah satu dari 103 barang bukti? Batman... oh, Batman akan memukul meja dan berkata, “Ini pembungkaman.”
Tapi negeri ini tidak memakai logika detektif. Negeri ini memakai logika maklum. Polisi berkata, “Belum cukup bukti bunuh diri.” Tapi tetap yakin tidak ada pembunuhan. Artinya, Arya tewas karena... sebab metafisik. Ia tidak dibunuh, tidak bunuh diri, ia hanya... mati. Seperti laptop mati total. Habis. Shutdown sistemik.
Ponsel utamanya hilang. Benda sekecil itu, yang bisa menyimpan jawaban, raib entah ke mana. CCTV punya blind spot. Email dari 2013 dan 2021 dipakai sebagai argumen bahwa ia mungkin ingin mati. Tapi adakah orang yang menyusun kematiannya selama 12 tahun dengan lakban dan selimut sebagai medium akhir? Ini bukan bunuh diri. Ini koreografi spiritual.
Keluarga menolak. Kakak ipar dan istrinya menyebut Arya sebagai sosok yang terbuka, tidak depresif, masih punya rencana, masih punya cinta, dan tak ada tanda bahwa ia ingin mati. Bahkan Hotman Paris bersuara. Tapi suara publik dan keluarga selalu kalah oleh suara lembaga yang memiliki stempel dan form BAP.
Arya mungkin telah selesai. Tapi kasus ini belum. Ia tidak sekadar tentang siapa membunuh siapa. Ini tentang bagaimana negara bisa mengubur kebenaran bersama jenazahnya, tanpa bau, tanpa noda, tanpa kesimpulan.
Ini bukan cuma pembunuhan. Ini adalah pembunuhan terhadap logika itu sendiri. Lalu, kita semua, satu per satu, mulai mati bersamanya.
Foto Ai, hanya fiksi tak ada di dunia nyata.
Publisher : Krista#camanewak
Komentar0