TSriBSA8GfrlBSClGpMiGpYoGi==

Apa yang Dipidatokan Prabowo untuk Negeri Ini?

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Untuk membaca narasi ini, sebaiknya siapkan kopi panas tanpa gula. Jangan yang dingin. Lalu, duduk yang rapi. Bila perlu pakai jas dan dasi. Soalnya, ini pidato presiden kita, Pak Prabowo. Here you are..

Di gedung DPR/MPR siang itu, sejarah politik Indonesia mendadak berubah aroma. Bukan aroma wangi melati atau kopi tubruk tanpa gula. Tapi, aroma formalin kekuasaan yang dicampur sedikit parfum “Gaya Baru Republik”. Presiden Prabowo Subianto melangkah masuk. Tidak dengan baju adat yang penuh warna seperti presiden-presiden sebelumnya. Ia memakai jas abu-abu rapi, dasi biru muda, kemeja putih, dan peci hitam. Penampilan yang membuat para fotografer politik seakan sedang memotret seorang CEO yang baru saja menandatangani kontrak merger semesta. 

Pidato ini dibuka dengan semangat “300 hari pertama” pemerintahan. Angka yang seolah dipinjam dari film 300 tentang pasukan Sparta. Tapi bedanya, Prabowo tidak melawan Persia, melainkan melawan sesuatu yang jauh lebih licin: korupsi, tambang ilegal, dan serakahnomics. Di layar pikiran rakyat, muncul imajinasi Prabowo sebagai Leonidas yang bukan melempar tombak, tapi melempar dokumen penyitaan aset. “Korupsi sudah menjalar ke seluruh lapisan pemerintahan,” katanya, dan di kursi para pejabat nakal, kursi itu mendadak terasa panas seperti panggangan sate klathak.

Publik melongo ketika angka-angka mulai diluncurkan seperti rudal retorika. Cadangan beras nasional: 4 juta ton, tertinggi sepanjang sejarah. Lahan sawit 3,1 juta hektare berhasil direbut kembali. 1.063 tambang ilegal ditutup, dengan kerugian negara yang disebut mencapai Rp300 triliun. Para ekonom tersenyum. Para mafia sumber daya alam menggertakkan gigi. Para mahasiswa mencatat angka itu untuk bahan demo berikutnya.

Lalu, Prabowo menyinggung misteri yang membuat rakyat geleng-geleng kepala. Kelangkaan minyak goreng di negeri produsen sawit terbesar. Ia menyebutnya “aneh”, sebuah fenomena ekonomi yang absurd, lalu menyematkan istilah serakahnomics. Istilah ini seperti mantra kutukan untuk mereka yang mampu membuat minyak goreng menguap dari rak toko tanpa bantuan jin atau sulap David Copperfield. Dalam sudut pandang filsafat, ini bukan sekadar masalah ekonomi, tapi bukti bahwa nafsu manusia bisa mengalahkan logika sains produksi.

Momen dramatis hadir saat mantan Presiden Jokowi memberikan dua jempol kepada Prabowo. Dua jempol ini bukan sekadar simbol pujian, tapi juga seperti stempel kerajaan dari penguasa lama kepada penguasa baru. Sejarah akan mencatat bahwa pada siang itu, di ruang parlemen yang dingin oleh AC dan panas oleh ego politik, dua generasi kekuasaan saling menatap dan tersenyum.

Puan Maharani pun tak ketinggalan memberi pujian. Ia menyebut respons cepat Prabowo terhadap berbagai masalah rakyat. Pencabutan izin tambang di Raja Ampat, penyelesaian tapal batas, harga gabah yang lebih manusiawi. Semuanya dibungkus dalam bahasa manis parlemen. Namun, di balik tepuk tangan itu, rakyat tahu bahwa pekerjaan rumah negara ini bukanlah setumpuk, melainkan sebuah gedung pencakar langit yang pondasinya masih miring.

Bagi yang mau membaca pidato ini sebagai novel, ada dramanya, ada humornya, ada data ekonominya, dan ada pula filosofi peradaban. Bahwa baju adat boleh hilang, tapi identitas negara tidak boleh luntur. Bahwa angka-angka bukan sekadar statistik, tapi peluru perang melawan kebodohan birokrasi. Bahwa serakahnomics adalah agama baru para penimbun, dan melawannya butuh iman yang lebih kuat dari sekadar doa di rapat kabinet. Yang terpenting, di panggung politik, simbol sekecil jempol bisa menjadi meteor yang mengubah orbit sejarah.

Prabowo hari itu bukan sekadar presiden yang berpidato. Ia seperti pemeran utama dalam sandiwara epik tentang republik yang ingin keluar dari labirin masa lalu. Sebuah labirin di mana rakyat sering dijadikan penonton. Sementara tikus-tikus politik berpesta di ruang gelap. Entah ini awal dari bab baru atau sekadar drama pengantar tidur politik nasional. Yang jelas, publik mendapat satu pelajaran baru, kadang revolusi dimulai dari hal sepele, seperti memilih jas abu-abu di hari yang penuh warna.

Publisher : Krista#camanewak

Komentar0

Type above and press Enter to search.