TSriBSA8GfrlBSClGpMiGpYoGi==

Bingung, Bupati Koltim Kena OTT, di Saat Bersamaan Ikut Rakernas Nasdem

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitorkrimsus.com

Saya sampai saat ini masih bingung. KPK bilang Bupati Kolaka Timur (Koltim) kena OTT. Tapi, di saat jam sama, sang Bupati sedang ikut Rakernas Nasdem di Makassar. Bingung ndak ente, wak! Mari kita ungkap apa sebenarnya yang terjadi, tentu siapkan juga kopi tanpa gulanya, wak!

Apalah arti kebenaran di zaman post-fakta ini, ketika seorang bupati bisa ada dan tidak ada dalam waktu yang sama? Seolah hidup ini disutradarai oleh Schrödinger, kita disuguhkan sebuah pertunjukan absurd: Abdul Azis, Bupati Kolaka Timur, sekaligus tersangka OTT dan peserta Rakernas, dalam satu tarikan napas. Sebuah keajaiban kuantum dalam dunia perpolitikan tanah air.

Siapa sebenarnya Abdul Azis? Seorang mantan ajudan gubernur, purnawirawan Polri, jebolan SPN Batua, dan peraih gelar sarjana ganda dari Universitas Sulawesi Tenggara. Dengan gelar, jabatan, dan titel inovatif yang bersinar terang "Innovative Leader with a Passion for the Community"Azis adalah figur impian dari brosur kampanye: tampan, tajam, dan tajir. Kekayaannya Rp 7,2 miliar, dengan mobil sekelas Hilux dan motor trail siap menerabas segala lubang anggaran.

Namun pada 7 Agustus 2025, narasi suci itu mendadak patah. KPK, lembaga yang sudah kenyang menangkap tukang nyolong bansos dan pemain proyek musiman, mengklaim telah menangkap sang bupati dalam operasi tangkap tangan. Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, Ketua KPK Setyo Budiyanto, dan Juru Bicara Budi Prasetyo menyuarakan nada yang sama, “OTT telah terjadi. Tim masih di lapangan. Tunggu update selanjutnya.”

Tapi tunggu. Tiba-tiba muncul plot twist dari alam semesta paralel, Partai NasDem! Di tengah gemuruh Rakernas di Makassar, Ahmad Sahroni, sang Bendahara Umum yang tampaknya juga merangkap notaris eksistensi, dengan percaya diri menunjuk ke samping dan berkata, “Berita dari KPK itu tidak benar. Abdul Azis ada di sini, di samping saya.”

Boom. Sebuah deklarasi filosofis. Dunia pun terbelah seperti laut merah, di satu sisi ada Abdul Azis versi KPK yang sedang dicokok karena diduga nyantol dalam kasus suap PUPR, di sisi lain ada Abdul Azis versi NasDem yang duduk santai menikmati kopi dan Rakernas. Yang satu disergap, yang lain berselfie. Yang satu diborgol, yang satu disorot lampu panggung.

“Saya juga kaget,” kata Azis sendiri, seperti tokoh utama sinetron yang membaca naskahnya sambil akting kaget. “Saya baik-baik saja, dan sebagai kader partai siap ikuti proses hukum.” Pernyataan suci yang biasa diucapkan sebelum headline koran berubah dari “OTT” menjadi “resmi ditahan.”

NasDem menyebut ini sebagai “drama”. Sahroni bahkan menuduh KPK menyebarkan hoaks bersertifikat institusi. Sebuah balasan politik yang mengguncang logika. Kita sebagai rakyat pun berdiri di tengah, menatap dua versi realitas ini sambil makan gorengan basi dan bertanya: “Yang benar, yang mana?”

Di sinilah filsafat korupsi menemukan panggungnya.

Korupsi bukan lagi soal mencuri uang negara, tapi seni pertunjukan tingkat tinggi yang menyatukan aktor politik, lembaga hukum, dan kamera live streaming. Abdul Azis, dengan dua keberadaan di dua tempat yang saling bertolak belakang, telah mendobrak hukum ruang dan waktu. Ia adalah bupati kuantum, satu-satunya pejabat yang bisa masuk berita kriminal dan politik dalam satu frame kamera, sambil tersenyum.

Di negeri ini, bahkan kebenaran bisa dinegosiasikan. Saat OTT menjadi tontonan, dan penegakan hukum dikaburkan oleh konferensi pers dan citra partai, rakyat hanya punya dua pilihan, percaya pada KPK atau percaya pada baju partai. Atau, seperti biasa... tidak percaya siapa pun. Karena dalam filsafat korupsi Indonesia, yang penting bukan siapa yang salah, tapi siapa yang paling dulu pegang mic.

Publisher : Krista#camanewak

Komentar0

Type above and press Enter to search.