Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Tulisan saya sebelumnya tentang aksi pengunduran diri Joao Angelo sudah dibaca 147,5K lebih. Sambutan netizen, luar biasa. Hampir semua mendukung sikap Joao. Tak ada salahnya bila beliau dinobatkan "Bapak Mundur Indonesia.” Harapannya, mundur sendiri karena merasa gagal menjadi tradisi. Simak narasinya sambil menikmati Bubur Nenek di tepian Sungai Jawi Pontianak.
Di negeri kita, mundur itu bukan sekadar jarang, ia nyaris fiksi. Banyak pejabat kita, ketika semua indikator kegagalan sudah merah, tetap duduk tegak di kursinya. Ini seperti kapten kapal yang tetap memegang kemudi meski kapalnya sudah separuh tenggelam, sambil berkata, “Tenang, semua ini masih terkendali.” Rakyat di bawah sudah basah kuyup, tapi kaptennya masih sibuk selfie di dek. Maka, ketika Joao Angelo De Sousa Mota layak disematkan sebagai Bapak Mundur Indonesia. Itu setelah ia mengumumkan pengunduran diri pada 11 Agustus 2025 dari Dirut Agrinas Pangan Nusantara. Ini seperti melihat komet melintas di siang bolong. Jarang, indah, dan membuat kita bertanya-tanya, “Kenapa yang lain tidak bisa begitu?”
Pak Joao mundur bukan karena dipaksa. Bukan karena ada video skandal. Bukan karena KPK mengetuk pintu. Ia mundur karena sadar. Tanpa dukungan maksimal, tanpa anggaran memadai, dan tanpa birokrasi yang bergerak seirama, visi kedaulatan pangan hanya akan jadi brosur berdebu di laci meja. Ia memilih pergi agar kursi itu diisi oleh yang lebih kompeten. Bayangkan, di sini, logika seperti itu sering dianggap kelemahan. Padahal, di negara-negara yang lebih sehat demokrasinya, itu adalah standar minimal kehormatan seorang pejabat.
Mari kita bandingkan. Di Jepang, seorang menteri bisa mundur hanya karena terlambat lima menit atau karena kebijakan yang ia rancang gagal mendapat dukungan publik. Mantan Perdana Menteri Shinzo Abe pernah mundur di 2007 hanya karena merasa pemerintahannya “tidak maksimal.” Sementara di Inggris, pada 2022, lebih dari 50 anggota pemerintahan Boris Johnson mundur beramai-ramai karena pemimpinnya dinilai kehilangan integritas, bukan karena takut dipenjara, tapi karena malu. Di Korea Selatan, tragedi Halloween Itaewon pada 2022 membuat pejabat senior berlomba mengajukan pengunduran diri, bahkan jika mereka tidak langsung bersalah, demi menjaga kepercayaan publik.
Coba kita tarik ke Indonesia. Di sini, tragedi besar biasanya direspons dengan membentuk tim investigasi, lalu menggelar konferensi pers dengan wajah muram, dan tiga bulan kemudian… semua kembali seperti semula. Mundur? Tidak ada di kamus. Justru kalau program gagal, pejabat bisa memohon perpanjangan masa jabatan dengan alasan “butuh waktu tambahan untuk memperbaiki keadaan.”
Itulah kenapa Pak Joao berbeda. Ia menolak menjadi simbol kegagalan yang duduk manis di kursi empuk. Ia memilih melangkah pergi sebelum menjadi bagian dari lingkaran “pejabat menyusahkan rakyat.” Ia paham, kursi jabatan bukan hak milik pribadi yang bisa diwariskan, tapi amanah sementara yang bisa dipulangkan jika tidak mampu. Di situ letak keagungan mundurnya. Ia sadar kapan harus berhenti, sesuatu yang di negeri ini setara dengan menemukan macan di kawasan ASEAN.
Sebutan Bapak Mundur Indonesia bukan sekadar candaan. Tapi, gelar terhormat untuk seseorang yang berani melakukan hal yang nyaris mustahil di republik ini. Kalau semua pejabat punya setengah saja keberanian seperti beliau, mungkin birokrasi kita akan lebih ringan. Program akan lebih tepat sasaran. Rakyat akan lebih sering tersenyum bukan karena menonton komedi, tapi karena pemerintahnya waras. Saya yakin Pak Joao akan tetap jadi satu bab unik di buku sejarah. Sementara tradisi mundur di negeri ini akan kembali membeku di lemari arsip, menunggu ada lagi orang nekat yang mau membukanya.
Publisher : Krista#camanewak
Komentar0