Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Masih cerita bendera one piece atau bajak laut. Ini tulisan ketiga saya soal itu. Banyak memang belum paham, kenapa harus bendera bajak laut? Kenapa tidak bendera Ormas atau hitam putih. Nah, kali ini saya mau mengupas makna di balik bajak lauk. Siapkan lagi kopi tanpa gulanya, wak!
Delapan puluh tahun merdeka. Delapan puluh tahun sejak kita berteriak "merdeka atau mati!" di tengah letusan senjata dan harapan yang menggelegak. Tapi hari ini, delapan puluh tahun kemudian, yang berkibar bukan hanya Merah Putih, melainkan… tengkorak dengan topi jerami. Iya, bendera bajak laut. Bukan dari Somalia. Tapi dari East Blue. Namanya Luffy. Profesinya? Bajak laut. Motivasinya? Mencari One Piece dan, kalau di Indonesia, mungkin juga SPPT yang hilang di kelurahan.
Negeri ini sedang demam bajak laut. Lucunya, bajak laut yang kita dukung bukan perampok SDA, tapi karakter fiksi yang entah kenapa jauh lebih jujur dari anggota DPR. Ketika bendera Topi Jerami dikibarkan di gang-gang sempit, tiang bambu, belakang warung kopi, hingga akun-akun TikTok penuh semangat nasionalisme alternatif, itu bukan karena anak muda sudah gila. Tapi karena mereka sudah muak. Mereka tahu, di negeri ini, bajak laut bukan yang berlayar di kapal kayu, tapi yang naik Alphard dan menyedot tambang seperti menyedot es teh manis di kantin kantor.
Lihat saja angka-angkanya. Cukai rokok menyumbang Rp216,9 triliun pada 2024. Rokok. Benda yang dibenci WHO, diburu aktivis kesehatan, dan ditakuti para calon mantu. Tapi justru rokok yang menopang APBN, bukan emas, bukan nikel, bukan batubara, bukan sawit. Di sisi lain, sektor sumber daya alam, yang katanya “tulang punggung bangsa” malah sering dipatahkan oleh oligarki dengan satu tangan sambil selfie dengan pejabat daerah. Bayangkan, potensi pendapatan batubara kita mencapai Rp3.007 triliun per tahun, gas bumi Rp483 triliun. Tapi realisasinya? Menguap ke mana-mana. Mungkin ke rekening offshore. Mungkin ke saham perusahaan keluarga. Mungkin juga ke coffee shop tempat para penguasa duduk membahas “masa depan rakyat” sambil menyantap mille crepes.
Sementara itu, rakyat cuma dapat ampas. Debu tambang. Lumpur sawit. Janji-janji yang tiap lima tahun diulang seperti kaset rusak. Kita menyaksikan deforestasi di Kalimantan, konflik agraria di Sumatera, pembakaran lahan di Riau. Semua terjadi dalam nama "pembangunan". Tapi coba tanya, pembangunan untuk siapa? Rakyat? Atau para "bajak laut" yang bisa dapat 100 ribu hektar lahan hanya dengan senyum manis saat rapat kementerian?
Ketika rakyat mengibarkan bendera Luffy, itu bukan pelecehan terhadap negara. Itu bentuk satire. Ironi. Pernyataan keras bahwa mereka lebih percaya pada kru Topi Jerami dari kru kabinet. Karena meski Luffy tukang berantem dan kurang ajar pada raja dunia, dia punya satu hal yang kini langka di republik ini, integritas.
Dalam dunia One Piece, Pemerintah Dunia adalah simbol tirani. Bajak laut adalah mereka yang menolak tunduk pada sistem yang busuk. Lucunya lagi, di negeri kita, yang menolak sistem justru dituduh makar. Padahal yang bikin sistem busuk ya mereka yang katanya “pejuang rakyat”, padahal makannya duit rakyat.
Maka biarkanlah bendera bajak laut itu berkibar. Jangan buru-buru turunkan. Karena kadang, harapan bangsa tidak datang dari partai, bukan dari menteri, apalagi dari influencer politik dadakan. Tapi dari Luffy, tengkorak tersenyum yang, meski fiksi, jauh lebih nyata dari semua janji di baliho.
Negeri ini sudah lama dibajak. Sekarang saatnya menilai sendiri. Kalau itu Luffy, ya sudah. Ayo naik kapal. Menuju Grand Line. Menuju keadilan, entah fiksi, entah nyata. Yang penting, kita tak ingin jadi korban terus.
Pontianak hujan lagi, lalu siapkan kopi. Aduk pelan sambil baca narasi. Agar otak selalu jeli. Mulut tersenyum melihat negeri.
Publisher : Krista#camanewak
Komentar0