Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Cerita Ambalat ternyata belum berakhir. Sumber sengketa panas antara Indonesia-Malaysia. Terbaru, Malaysia mengganti istilah Ambalat dengan Laut Sulawesi. Sementara Indonesia, tetap Ambalat. Mari simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Bayangkan dua tetangga kos yang dulu ribut gara-gara jemuran tertukar, kini naik level jadi dua negara yang debat soal laut. Bukan laut kecil yang cuma muat dua perahu dan satu jaring, tapi hamparan biru raksasa bernama Ambalat, wilayah yang mengandung minyak dan gas cukup untuk menghidupkan lampu jalan seluruh Nusantara sampai kiamat kecil tiba.
Presiden RI Jenderal (Purn) Prabowo Subianto tampil seperti tetua kampung yang sudah kenyang makan garam, berdiri di tengah halaman dunia, dan berkata dengan nada lembut tapi berwibawa, “Ya kita cari penyelesaian yang baik, yang damai, ada iktikad baik dari dua pihak.” Kalimat yang terdengar seperti nasihat orang tua saat dua anaknya ribut berebut kue. Padahal, di baliknya, yang diperebutkan adalah blok ND6 dan ND7 di perairan Nunukan, Kalimantan Utara. Ini wilayah yang kalau diukur dari nilai ekonominya bisa bikin para menteri langsung berhitung sambil senyum tipis.
Di seberang sana, Menteri Luar Negeri Malaysia Dato’ Seri Mohamad Hasan memegang peta lama keluaran 1979 seperti kakek yang bangga menunjukkan foto hitam putih masa muda. Dengan penuh keyakinan, ia berkata wilayah itu adalah “Laut Sulawesi”, bukan “Ambalat” seperti kata Indonesia. Ia menambahkan bumbu hukum dengan menyebut putusan Mahkamah Internasional (ICJ) 2002 soal Sipadan dan Ligitan, yang konon memperkuat posisi mereka. Lalu, seperti menabur garam di luka, ia mengutip UNCLOS 1982, aturan hukum laut internasional yang namanya saja terdengar seperti boyband gagal debut tapi tetap punya fans setia di kalangan diplomat.
Di tengah ketegangan ini, kedua pihak sepakat menempuh jalur diplomasi. Versi politiknya berarti duduk di meja perundingan ber-AC, minum kopi impor, dan berdebat apakah nama “Ambalat” lebih gagah daripada “Laut Sulawesi”. Bahkan ada ide joint development, pengelolaan bersama yang mirip dua orang mantan pacar yang terpaksa tetap tinggal satu rumah karena cicilan belum lunas. Pertamina dan Petronas pun dipanggil, bukan untuk lomba tarik tambang, tapi untuk menjajaki kerja sama eksplorasi migas.
DPR RI tentu tak mau ketinggalan sorotan kamera. Komisi I menegaskan pentingnya klarifikasi istilah, supaya rakyat tidak bingung mengira Ambalat itu nama merek air mineral. Mereka juga menyarankan kehadiran simbolik dan fisik di wilayah itu, mulai dari patroli TNI AL hingga membangun infrastruktur navigasi, seperti menaruh sandal di teras rumah agar tetangga tahu “ini punya kita.”
Namun, semua ini tetap terasa seperti main catur di atas kapal nelayan, papan goyang, bidak jatuh ke laut, dan semua pemain berusaha terlihat tenang padahal ombaknya setinggi tiang listrik. Karena sesungguhnya, garis di peta hanyalah karya seni tipis di atas kertas. Laut tetap berombak, ikan tetap berenang tanpa visa, dan matahari tetap terbit tanpa mempedulikan siapa yang memegang sertifikat kepemilikan ombak.
Drama Ambalat ini, meski penuh data, peta, dan argumen hukum, pada dasarnya adalah kisah klasik bertetangga: saling intip, saling klaim, tapi di ujungnya tetap saling sapa. Kalau semua pihak mau melihat laut seperti anak kecil melihat kolam renang umum, tempat bermain bersama, bukan ajang adu siapa yang punya airnya, mungkin dunia akan sedikit lebih damai. Siapa tahu, kita bisa hidup rukun di bumi yang sama, tanpa takut jemuran, kue, atau laut kita diaku orang. Karena pada akhirnya, semua ini hanyalah soal menjaga harmoni… sambil memastikan peta kita tetap di atas meja, bukan di rak tetangga.
Publisher : Krista#camanewak
Komentar0