Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Berselang satu lagi setelah Prabowo meng-amnesti Hasto, PDIP pun dengan suara bulat memilih Megawati sebagai Ketum lagi. Di hari sama, Hasto pun resmi keluar bebas dari balik jeruji. Apakah ini ada benang merahnya, mari simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Bali, 1 Agustus 2025. Di tengah kemewahan Nusa Dua dan denting gamelan hotel bintang lima, sejarah politik Indonesia kembali membuka satu bab epik. Megawati Soekarnoputri, perempuan tangguh berusia 78 tahun, kembali dikukuhkan sebagai Ketua Umum PDIP periode 2025–2030. Bukan dipilih ulang, melainkan dikukuhkan. Sebuah kata yang di dunia politik hanya dimiliki mereka yang telah menjelma bukan sekadar pemimpin, tapi simbol. Ia tak bertarung karena ia sudah menang sebelum kompetisi dimulai. Ia tak berkampanye karena wajahnya telah tertanam dalam setiap lembar sejarah partai.
Mari kita jujur sebentar saja, di republik ini, siapa lagi ketua umum partai yang perempuan? Tidak ada. Lihat seluruh partai, laki-laki, laki-laki, laki-laki. Tapi, di kandang banteng moncong putih? Seorang perempuan. Seorang ibu. Seorang tokoh yang tak hanya bertahan, tapi membesarkan partai hingga jadi raksasa merah yang tak pernah absen dari pentas kekuasaan. Saat partai-partai lain ganti baju, pecah kongsi, ganti ketua seperti ganti casing ponsel, PDIP berdiri dengan satu poros, Megawati.
Ia bukan hanya putri dari Proklamator. Ia adalah arsitek. Penjaga api. Pemilik arah. Di bawah komandonya, PDIP tak pernah keluar dari parlemen, tak pernah kehabisan tokoh, dan tak pernah kehilangan napas. Megawati menjelma ibu rumah tangga demokrasi yang tahu betul kapan harus mengetuk meja, dan kapan harus membiarkan orang bicara. Ia keras, tapi tak pernah kehilangan arah. Ia tenang, tapi bukan berarti lemah.
Dalam Kongres ke-6 PDIP ini, semua suara bulat. DPD, DPC, DPP, seluruh semesta partai sepakat tanpa debat. Tak ada voting, karena voting hanya dibutuhkan kalau arah belum jelas. Tapi di PDIP, arah itu jelas, Megawati adalah merah. Selama hampir tiga dekade, PDIP tak pernah benar-benar tergelincir. Bahkan ketika badai pemilu datang dan pergi, banteng tetap berdiri. Barisan tetap utuh. Di belakangnya, seorang perempuan yang rambutnya mulai memutih, tapi pandangannya tetap merah menyala.
Tentu, masih ada satu drama tambahan, Hasto Kristiyanto, mantan Sekjen, baru saja keluar dari penjara malam itu juga. Bukan kabur. Bukan sulap. Tapi amnesti. Diberikan oleh Presiden Prabowo Subianto, sebagai bagian dari pengampunan massal untuk 1.116 terpidana. Hasto keluar mengenakan jas hitam, kaos merah bertuliskan “Soekarno Run”, mengepalkan tangan dan meneriakkan “Merdeka!”seperti tokoh dalam film heroik. Entah ia akan kembali menjabat atau tidak, tapi satu hal pasti, struktur baru partai sedang digodok langsung oleh Ibu Ketua Umum.
Ganjar, Djarot, Basarah, Said, semua nama besar beredar. Tapi tak satu pun bisa mengklaim posisi, sebelum Megawati mengangguk. Karena dalam struktur PDIP, kepastian bukan datang dari wacana, tapi dari restu. Restu itu satu.
So, ketika kita bicara tentang kekuatan politik, jangan sebut hanya nama-nama laki-laki. Lihat Megawati. Perempuan. Tua. Tapi tegak berdiri memimpin partai terbesar di Indonesia. Bukan sebagai tokoh nostalgia. Tapi sebagai pemimpin sejati yang, di usia hampir delapan dekade, masih sanggup menatap masa depan partai dengan mata merah yang penuh nyala.
Apakah PDIP akan gabung ke kabinet Prabowo? Megawati yang dijuluki netizen dengan Mak Banteng sudah menginstruksikan mendukung pemerintahan Prabowo. Namun, tetap sebagai penyeimbang, bukan bagian dari kabinet. Dukungan ini bersifat konstruktif dan kritis. PDIP tetap menjalankan fungsi check-and-balance di luar pemerintahan.
Begitulah, wak! Politik itu jangan sepenuhnya percaya. Setengah-setengah saja. Sebab, di dunia politik, kawan bisa jadi lawan. Sebaliknya juga begitu. Yang abadi hanya kepentingan. Pahamlah ente soal begini. Tetap ngopi agar otak selalu encer dan waras.
Publisher : Krista#camanewak
Komentar0