Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Bisa ndak Bupati dilengserkan rakyat? Banyak bertanya demikian. Seolah-olah belum pernah ada kejadian. Kalau Presiden, justru pernah ada. Begitu juga bupati, pernah dilengserkan rakyat lewat demo berjilid-jilid. Salah satunya, Aceng Fikri, Bupati Garut, Jawa Barat dibuat KO oleh rakyatnya sendiri. Mari kita kenalan dengan beliau sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Kekuasaan itu seperti minum kopi tubruk di gelas kristal. Terlihat mewah, terasa nikmat, tapi kalau salah teguk, ampasnya nyangkut di tenggorokan dan bikin batuk memalukan. Banyak orang bermimpi duduk di kursi bupati. Seolah itu singgasana emas yang diwariskan Tuhan langsung ke mereka. Padahal, kursi itu hanyalah titipan rakyat. Sebuah kontrak sosial yang masa berlakunya ditentukan oleh suara terbanyak. Bisa dicabut kapan saja kalau pemegangnya terlalu kreatif melanggar sumpah jabatan.
H. Aceng Hulik Munawar Fikri, S.Ag., lahir di Garut pada 6 September 1972, adalah salah satu tokoh yang pernah merasakan manisnya kursi itu sekaligus pahitnya jatuh dari ketinggian. Di usia 52 tahun (per 2024), ia membawa jejak hidup yang penuh cerita. Tiga kali menikah, pertama dengan Nurrohimah, lalu dengan Fani Oktora yang cuma bertahan empat hari, dan terakhir dengan Siti Elina Rahayu, serta tiga anak yang lahir dari perjalanan ini. Pendidikan formalnya panjang: SD Sukamentri Garut, MTs Negeri Garut, PGN Garut, Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Musaddadiyah, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, UIN Syarif Hidayatullah, hingga Universitas Indonesia.
Karier politiknya pernah dipuja. Terpilih sebagai Bupati Garut 2009–2013 lewat jalur independen. Ia menang telak 57% suara. Bagi warga Garut, itu seperti menonton kisah underdog yang berhasil mengalahkan partai besar. Setelah itu, ia melanjutkan kiprahnya sebagai anggota DPD RI 2014–2019 mewakili Jawa Barat, mengantongi 1,1 juta suara. Pernah singgah di PKB (2002–2006) lalu Golkar (2011–2012), sebelum akhirnya dipecat akibat badai yang akan kita bicarakan ini.
Tahun 2012, badai itu datang. Garut gempar oleh berita yang membuat politik terasa seperti gosip infotainment. Bupatinya menikah siri dengan gadis 18 tahun bernama Fani Oktora. Pernikahan itu tidak seperti umumnya pernikahan, melainkan seperti kontrak kerja paruh waktu, hanya empat hari. Setelah itu, Fani menerima SMS berisi perceraian dengan alasan yang akan abadi di buku sejarah kejanggalan hukum, tidak perawan dan bau mulut. Media nasional pun mengunyah berita ini sampai habis, menayangkannya di setiap jam berita, seakan Garut adalah set panggung sandiwara.
Tapi sumpah jabatan bukanlah naskah sandiwara. Ia sakral, dan melanggarnya adalah dosa politik yang tidak bisa dibilas dengan air zam-zam. Warga Garut pun marah. Mereka demo besar-besaran, berjilid-jilid. DPRD Garut pun kali ini menyalakan mode darurat. Sidang paripurna digelar. Hasilnya, Aceng dimakzulkan. Lalu, Mahkamah Agung memutuskan Aceng melanggar sumpah jabatan. Presiden SBY menandatangani Keppres No. 17/P/2013, mengukuhkan pemecatan itu.
Dii titik ini, rakyat Garut tersenyum pahit. Mereka sadar, ternyata hak mereka bukan hanya memilih di TPS, tapi juga menutup pintu kekuasaan untuk siapa pun yang lupa diri. Itulah momen ketika rakyat menjadi hakim, DPRD menjadi palu godam, dan kursi bupati berubah jadi kursi ejector yang menembakkan pemiliknya keluar dari panggung.
Kisah ini menjadi preseden nasional. Bukti bahwa kepala daerah bisa dilengserkan bukan karena korupsi, tapi karena pelanggaran etika berat. Kini, ia menjadi referensi dalam desakan pemakzulan terhadap Bupati Pati Sudewo. Ia sedang didemo ratusan ribu rakyatnya. Penyebabnya, gara-gara mulut tak bisa direm, menantang rakyat, dan menaikkan PBB hingga 250%.
Di sini, kita belajar satu hal yang rasanya jarang diajarkan di sekolah. Kursi kekuasaan bukan milik pribadi. Itu barang pinjaman, dan rakyat punya kunci gudangnya. Mereka bisa memberikannya dengan senyum, dan mengambilnya kembali dengan amarah. Ketika mandat rakyat dikhianati, jangan harap ada negosiasi, yang datang adalah suara lantang, tepukan palu, dan sejarah yang mencatat dengan tinta merah, rakyat tidak hanya bisa memilih, tapi juga melengserkan.
Publisher : Krista#camanewak
Komentar0