TSriBSA8GfrlBSClGpMiGpYoGi==

Mengenal Supriyati, Dewan yang Terbukti Gunakan Ijazah Palsu

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitor86.com

Cerita ijazah palsu tak ada habisnya. Hilang satu, datang yang baru. Kebetulan ada yang baru ni, datang dari bumi Lampung Selatan, ada warga elite nya terbukti gunakan ijazah palsu. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Di sebuah negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan, ternyata gelar akademik bisa tumbuh lebih cepat dari kecambah tauge. Cukup modal foto 3x4, stempel sekolah entah di mana, dan sedikit keberanian setingkat tukang parkir yang melawan preman terminal, jadilah sarjana kilat. Inilah kisah terbaru dari panggung opera sabun politik Nusantara. Supriyati, anggota DPRD Lampung Selatan dari Fraksi PDI Perjuangan, nomor urut 6, dapil Kecamatan Tanjung Bintang, Merbau Mataram, dan Tanjung Sari, terbukti gunakan ijazah palsu.

Supriyati, yang program unggulannya katanya meliputi kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan, ternyata menjadikan pendidikan bukan sekadar visi, tapi misi ninja. Ia menyusup ke dunia akademik lewat pintu rahasia. Ijazahnya? Palsu, wak. Bukan “palsu” dalam arti “cantik tapi hatinya dingin”, tapi palsu sungguhan, sekelas dompet kulit buaya yang terbuat dari plastik ember bekas.

"Duh, bang kok bisa ia palsukan ijazah sih. Pasti ada yang ngajari beliau tu."

"Pasti adalah, wak. Cuma siapa orangnya, belum ada yang tahu."

Drama ini memuncak pada 6 Agustus 2025 di Pengadilan Negeri Kalianda. Majelis hakim, dengan aura seperti wasit tinju yang muak lihat pertandingan curang, menjatuhkan vonis, 1 tahun penjara + denda Rp100 juta, subsider 4 bulan kurungan. Pasal yang dilanggar? Pasal 61 ayat (2) dan (3) tentang penggunaan ijazah atau sertifikat kompetensi palsu. Sidangnya sendiri berlangsung 77 hari, total 16 kali persidangan, hampir sama lamanya dengan masa penantian gaji ke-13 PNS.

Kuasa hukum Supriyati tentu tidak mau kalah gaya. Mereka ajukan nota pembelaan dengan jurus “kalau bukan dia, siapa lagi?”. Sayang, jurus itu dimentahkan hakim sebersih lapangan voli yang baru disapu sebelum lomba 17-an. Semua pembelaan ditolak mentah-mentah, bahkan lebih mentah dari pepaya muda di tukang sayur.

Oh, tapi kisah ini tak hanya punya satu tokoh. Ada Akhmad Syahrudin, pemilik lembaga pendidikan yang menerbitkan ijazah palsu. Ia juga divonis 1 tahun penjara + denda Rp100 juta, subsider 2 bulan kurungan. Seperti duet dangdut yang gagal nyanyi live, keduanya sama-sama jatuh tempo di panggung hukum.

Di sinilah filsafat ijazah palsu menemukan maknanya, di negeri ini, ijazah bukan sekadar kertas, melainkan paspor menuju kursi empuk kekuasaan. Bedanya, paspor ini tidak diterbitkan oleh imigrasi, melainkan oleh “universitas ninja” yang mungkin punya moto, "Cepat, Tepat, Tanpa Ujian."

Ironinya? Para pemilih yang dulu bangga mencoblos Supriyati kini merasa seperti membeli televisi layar datar, tapi isinya cuma radio AM. Pendidikan memang mahal, tapi ternyata harga palsunya bisa jauh lebih murah… sampai masuk penjara.

So, wahai para pengopi di warkop, jangan kaget kalau nanti ada lagi calon pejabat yang ijazahnya “tumbuh” dalam semalam seperti jamur setelah hujan. Negeri ini sudah punya ekosistem lengkap untuk itu. Ada penerbit ijazah, pembeli ijazah, pelapor ijazah, penggugat ijazah, dan penonton setia drama ijazah.

Pertanyaannya sekarang, apakah kita butuh lebih banyak penjara, atau cukup buka fakultas baru, Jurusan Rekayasa Dokumen, Program Studi Ijazah Palsu, biar semua legal sekalian?

Foto Ai, hanya ilustrasi. 

Publisher : Krista#camanewak

Komentar0

Type above and press Enter to search.