JAKARTA // Monitorkrimsus.com
Sudah lebih dari empat tahun sejak Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan PT Elteha International pailit, namun hingga kini ribuan eks karyawan dan sejumlah pelanggan yang menjadi kreditur belum mendapatkan hak pembayaran mereka. Proses kepailitan yang seharusnya berjalan cepat dan transparan, justru terjebak dalam putaran gugatan, pergantian kurator, dan tarik-menarik hukum di pengadilan.
PT Elteha International, yang berdiri sejak era 1960-an, pernah menjadi salah satu pelopor jasa pengiriman barang domestik dan internasional di Indonesia. Reputasi perusahaan ini dibangun melalui kecepatan layanan, tarif bersaing, dan jaringan distribusi yang luas. Namun, kemunduran mulai terasa pada 2014, ketika kepemimpinan beralih dari J. Soehartanto kepada Jopi Tangkilisan.
Menurut Santosa, mantan karyawan, kebijakan penarikan dana cadangan dari kantor cabang ke pusat serta kenaikan tarif pengiriman hingga 75% menjadi titik balik yang merugikan pelanggan dan menurunkan kepercayaan pasar.
“Banyak pelanggan beralih ke perusahaan lain, volume pengiriman turun drastis, dan mulai terjadi penunggakan gaji karyawan selama berbulan-bulan,” ujarnya, Jumat (15/8/2025).
Masalah likuiditas yang akut akhirnya dibawa ke ranah hukum. Pada 9 Maret 2021, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat melalui perkara No. 407/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst memutuskan PT Elteha International pailit, menunjuk Patriana Purwa, S.H., dan Umar Faruk, S.H., M.H., sebagai kurator.
Namun, jadwal verifikasi piutang pada 8 April 2021 yang semestinya menentukan daftar kreditur justru tertunda tanpa alasan jelas hingga Maret 2023. Hal ini memicu aksi unjuk rasa di PN Jakarta Pusat, menuntut pergantian kurator.
Pada 3 April 2023, Hakim Pengawas menunjuk Firhot Patra Sinaga, S.H. sebagai kurator pengganti mendampingi Umar Faruk. Meski demikian, percepatan proses tidak signifikan.
Nilai boedel pailit yang diserahkan debitur dinilai tidak mencukupi untuk membayar semua tagihan kreditur. Tim kurator lalu mengajukan Gugatan Lain-Lain terhadap aset pribadi debitur. Gugatan ini dikabulkan Pengadilan Niaga pada 20 Maret 2024, tetapi dibatalkan Mahkamah Agung melalui perkara No. 697 K/Pdt.Sus-Pailit/2024 setelah tergugat mengajukan kasasi.
Tim kurator kini menempuh Peninjauan Kembali (PK) yang terdaftar di MA dengan nomor perkara 32 PK/Pdt.Sus-Pailit/2025. Proses ini masih berjalan.
Dalam perkara kepailitan, pelanggan yang dirugikan karena jasa pengiriman tidak terpenuhi dapat berkedudukan sebagai kreditur konkuren.
Menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, debitur dapat dipailitkan jika memiliki dua atau lebih kreditur dan tidak membayar satu utang yang telah jatuh tempo.
Hak-hak kreditur diatur lebih lanjut dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata, yang menegaskan bahwa seluruh harta kekayaan debitur menjadi jaminan bagi semua krediturnya dan pembagian dilakukan secara proporsional.
Bagi pelanggan Elteha yang sudah membayar ongkos kirim tetapi tidak menerima jasa sesuai perjanjian, hak tagihan mereka harus diverifikasi dalam rapat kreditur di bawah pengawasan kurator. Jika hak ini diabaikan, pelanggan berhak mengajukan keberatan atau permohonan kepada hakim pengawas.
Pada 8 Juni 2024, kurator mengumumkan penjualan di bawah tangan armada pengiriman di Jawa dan Bali. Eksekusi dilakukan Mei–Juni 2025, namun hingga pertengahan Agustus 2025, para kreditur belum menerima laporan resmi nilai penjualan maupun rencana pembagiannya.
Kondisi ini mendorong aksi unjuk rasa kedua pada 11 Februari 2025 di PN Jakarta Pusat. Tuntutan pergantian kurator kembali disuarakan, namun hingga kini belum mendapat respons.
Tri Setiowati, S.H., M.H., istri almarhum Setia Budiana yang memimpin Elteha Jawa Barat, mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk turun tangan.
“Ribuan keluarga masih menunggu haknya. Kami mohon Depnaker, DPR RI, PN Jakarta Pusat, dan Mahkamah Agung menyelesaikan masalah ini,” ujarnya.
Tragisnya, beberapa eks karyawan meninggal dunia sebelum menerima pesangon, penghargaan masa kerja, dan penggantian hak yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Penutup
Kasus kepailitan PT Elteha International menjadi potret buruk tata kelola proses pailit di Indonesia ketika transparansi dan percepatan tidak berjalan. Pasal demi pasal yang seharusnya melindungi kreditur tampak tidak efektif tanpa pengawasan ketat dan itikad baik dari pihak yang berwenang.
Para kreditur, baik eks karyawan maupun pelanggan, hanya berharap satu hal: proses ini berakhir dengan pembagian yang adil sesuai hukum.
Publisher : TIM/RED
Sumber : Korban Sumber Internal
Red/Gun*
Komentar0