Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Mungkin jutaan kali rakyat mendesak, “Segera sahkan RUU Perampasan Aset!” Tapi tak pernah digubris wakil rakyat di Senayan. Ketika rumah Ahmad Sahroni dijarah, rakyat berujar “Itulah definisi nyata perampasan aset koruptor oleh rakyat.” Who is the next? Siapkan lagi kopi tanpa gulanya, wak!
Aksi penjarahan rumah Ahmad Sahroni seakan jadi trailer resmi sebuah film yang sudah lama ditunggu rakyat. “Perampasan Aset, the Real Action.” Bayangkan, wak! Rakyat berbondong-bondong datang bukan untuk selfie, bukan untuk minta tanda tangan, tapi untuk mengambil hak mereka yang dirampok selama bertahun-tahun. Adegan itu seolah menjawab pertanyaan lama, kalau negara tidak sanggup merampas harta koruptor, ya biarlah rakyat turun tangan, sekalian latihan sebelum RUU Perampasan Aset benar-benar disahkan.
Ironinya, yang disebut “ilegal” justru terlihat paling logis. Saat rakyat merangsek masuk rumah mewah yang berdiri seperti istana Versailles di tengah Jakarta, itu hanyalah bentuk spontan dari sebuah undang-undang yang mangkrak. RUU Perampasan Aset sudah diusulkan sejak zaman kuda gigit besi, sudah masuk Prolegnas berkali-kali, tapi sampai hari ini nasibnya mirip drama Korea 300 episode, panjang, berbelit, dan ending-nya entah kapan. DPR bilang nanti, pemerintah bilang segera, hasilnya nol besar.
Di jalanan, demonstrasi meluas dari Jakarta ke Surabaya, dari Medan sampai Makassar, dari Pontianak hingga Jayapura. Poster-poster absurd bermunculan: “Segera Sah-kan RUU Perampasan Aset, atau biar kami yang merampas duluan.” Ada juga yang lebih sadis, “Lebih baik rumah koruptor jadi museum rakyat dari jadi sarang kemewahan.” Lalu ada pula yang nyinyir, “Kalau bisa rakyat nunggak pajak ditarik secepat kilat, kenapa merampas aset koruptor malah nunggu kiamat?”
Lihat betapa ironisnya. Negara begitu gesit ketika rakyat tak bayar pajak, listrik telat dibayar, atau motor telat pajak lima hari. Tapi ketika koruptor menimbun uang hingga triliunan, negara mendadak berubah jadi kura-kura pikun. Semua alasan keluar, belum sinkron, belum harmonisasi, belum ada political will. Padahal rakyat sudah lama paham, alasan sebenarnya adalah takut menyentuh kantong teman sendiri.
Maka ketika massa menjarah rumah Sahroni, itu bukan sekadar emosi, itu adalah kuliah hukum jalanan. Rakyat mendemonstrasikan prinsip in rem tanpa perlu toga hakim, yang jadi terdakwa bukan orangnya, tapi rumahnya, mobilnya, rekeningnya. Kalau kekayaan itu tak masuk akal, rampas, titik! Justru rakyat lebih cepat belajar logika hukum dibanding legislator yang sibuk berdebat sambil ngopi di ruang rapat.
Demo yang awalnya menuntut keadilan kini berubah jadi karnaval nasional perampasan simbolik. Di Bandung, mahasiswa berbaris sambil membawa miniatur rumah mewah dari kardus, lalu membakarnya sebagai satire. Di Makassar, nelayan menuliskan nama-nama koruptor di layar tancap, menonton sambil tertawa getir. Di Yogyakarta, seniman menulis mural dengan kalimat, “Sahkan RUU Perampasan Aset, atau rakyat akan jadi juru sita paling setia.”
Gelombang protes ini menjelma jadi orkestra gila. Rakyat menabuh panci, mahasiswa meniup terompet, ibu-ibu membawa sapu sebagai simbol pembersihan. Semua tertawa sekaligus marah, semua geram sekaligus bergembira. Inilah absurdnya demokrasi, rakyat harus turun ke jalan untuk mengajarkan DPR cara menulis undang-undang yang sebenarnya sudah mereka tahu jawabannya.
Pada akhirnya, penjarahan rumah Sahroni bukanlah klimaks, melainkan prolog. Prolog untuk sebuah revolusi hukum yang menunggu disahkan. RUU Perampasan Aset kini bukan lagi sekadar teks di atas kertas, melainkan nyawa demo yang berdenyut di seluruh provinsi. Bila DPR masih menunda, jangan salahkan bila rakyat akan menjadikan setiap rumah mewah hasil korupsi sebagai kampus, sebagai panggung, sebagai laboratorium hukum paling absurd di republik ini.
Bila suatu hari nanti RUU itu akhirnya diketok, rakyat akan tersenyum sinis sambil berkata: “Lihat kan, ternyata lebih mudah merampas rumah koruptor dengan undang-undang dari pada dengan tangan kosong. Tapi sayang, negara baru sadar setelah rakyat mengajarkannya dengan darah, keringat, dan sedikit humor tragis di jalanan.”
Publisher : Krista#camanewak
Komentar0