Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitorkrimsus.com
Lama saya tidak menulis tentang IKN. Dulu, tiap minggu ada kabar, jalan tol diarap, bendungan IKN, menteri selfie di hutan. Sekarang? Sunyi. Sepi. Diam. Seperti grup WhatsApp alumni yang cuma rame pas ada yang nikah atau meninggal. Bahkan YouTuber yang dulu rajin bikin “Update IKN Hari Ini” kini lebih sibuk mukbang bakso aci. Jangan-jangan, IKN ini bukan “Ibu Kota Masa Depan”, tapi “Masa Depan Ibu Kota” yang sudah digadai di Pegadaian Cabang Nusantara.
Kasus tanahnya seperti sinetron Ramadan yang nggak pernah tamat. Ada 7.125 warga Kutai Kartanegara belum terima ganti rugi, tapi tanahnya sudah digarap dan bangunannya berdiri gagah. Bayangkan, pian belum dibayar, tapi rumah ikam sudah dirombak jadi showroom mobil. Sultan Kutai bahkan sampai curhat ke Hotman Paris, berharap hukum masih punya gigi, meski di Indonesia, hukum kadang lebih mirip gusi ompong. Bukti tanah? Ada surat 1973, ada putusan pengadilan 1997, ada saksi adat. Tinggal tunggu pemerintah sadar atau pura-pura kena demensia.
Presiden Prabowo bilang IKN lanjut, bahkan mungkin dipercepat. Tapi ada Inpres hemat Rp 306,6 triliun. Itu seperti mau nikahin pacar tapi resepsinya pakai nasi uduk bungkus daun. Pemindahan ASN yang tadinya Januari 2025? Ditunda. Isu terakhir akan dipindah 2028. Katanya demi efisiensi, tapi terdengar seperti alasan orang LDR. “Kita pending ketemu karena fokus karier,” padahal cintanya sudah di-take over orang lain.
Tahap kedua katanya siap 2028, seperti transportasi umum, perumahan ASN, gedung DPR dan MK. Tiga Piala Dunia lagi, baru jadi ibu kota resmi. Kalau duit makin tipis, jangan-jangan transportasi umum di IKN cuma delman. Sementara seorang pemuda Dayak, Stepanus Babaro, menggugat UU IKN karena pasalnya memberi investor hak tanah sampai 190 tahun. Itu bukan hak guna, itu hak gentayangan lintas tujuh generasi. Dia memilih pena, bukan tombak, karena di negeri ini, tanda tangan di atas meterai lebih tajam dari semua senjata tradisional.
Politik ikut main drama. NasDem mau moratorium, Golkar bilang belum perlu, PDIP dan Demokrat main aman. DPR mau rapat dengan Otorita IKN, yang kekuasaannya super besar sampai akademisi khawatir ini bisa jadi “otokrasi lokal”. Jakarta secara hukum sudah bukan ibu kota sejak UU No. 2 Tahun 2024, tapi tetap jadi pusat segalanya. Jadi pindahnya setengah hati, mirip orang sudah cerai tapi masih numpang Netflix di akun mantan.
Investor asing? Masih LDR. Katanya mau serius, tapi belum setor modal. Tambang batubara ilegal bermunculan di sekitar IKN, seolah kota ini mau punya “bonus” wisata tambang di brosur pariwisata. Anggaran naik-turun seperti sinyal HP di hutan, awalnya diblokir, lalu melonjak dari Rp 6,3 triliun jadi Rp 14,4 triliun, sambil Kementerian PUPR dipotong hampir habis.
Lalu beredar isu PSK di IKN. Katanya, pekerja seks komersial sudah mengintip peluang sebelum ASN pindah. Isu ini dibantah habis-habisan, katanya cuma rumor. Tapi di negeri ini, rumor sering lebih gesit dari fakta. Kalau benar ada, berarti ekosistem jasa di IKN berkembang lebih cepat dari gedung DPR-nya. Kalau bohong, berarti kita punya bakat luar biasa dalam menciptakan cerita rakyat edisi urban.
Upacara kemerdekaan ke-80 yang rencananya mau di IKN tetap digelar di Jakarta. Alasannya, belum siap. Padahal kemerdekaan itu bukan soal siap atau tidak, tapi soal mau atau tidak. Hasilnya, IKN jadi rumah baru yang pestanya tetap di rumah lama. Tempo sampai menulis editorial “IKN Sampai di Sini”, menggambarkan kota hantu berisi ASN yang ngopi sambil menunggu proyek cair.
Kalau Plato hidup sekarang, dia mungkin menulis dialog Socrates tentang IKN. Socrates akan bertanya, “Apakah ini ibu kota, atau hanya titik di peta yang kita sepakati?” Muridnya menjawab, “Titik itu sekarang jadi ruko dan kos-kosan, Pak.” Ibu kota itu seperti hati manusia, bisa dipindahkan, tapi rasa sakitnya ikut pindah. IKN, entah jadi mukjizat peradaban atau monumen kegagalan, tetap akan dikenang sebagai kota yang sejak awal dibangun di antara lumpur birokrasi, rumor PSK, dan kabut janji politik.
Kalau sukses, kita akan bilang ini kemenangan sejarah. Kalau gagal, kita akan bilang, “Ya wajar, namanya juga Indonesia.”
Foto Ai hanya ilustrasi saja.
Publisher : Krista#camanewak
Komentar0