Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Lupakan sejenak huru-hara politik. Tapi, ngopi tanpa gula tetap diseruput. Tundukan kepala kita ke Bali yang sedang berduka. Negeri indah ini sedang dihantam banjir besar. Mari simak narasinya, wak!
Di Bali, tanah yang biasa disapa turis dengan kata “paradise”, air turun tak lagi lembut. Ia datang sebagai algojo. Hujan deras sejak Selasa malam berubah jadi banjir kilat, menelan jalan, menghancurkan rumah, dan merenggut jiwa. Pulau Dewata mendadak tak lagi indah, ia menjelma panggung duka.
Enam nyawa melayang. Empat orang di Denpasar meregang di bawah bangunan yang roboh, dua lainnya di Jembrana tak kuasa melawan arus. Enam, hanya enam, kata pejabat dengan nada statistik dingin. Tapi bagi keluarga, angka itu adalah seluruh dunia yang runtuh. Anak kehilangan ibu, istri kehilangan suami, orang tua kehilangan anak, kehilangan yang tak pernah bisa dikembalikan dengan janji “bantuan logistik” atau “uang santunan”.
Lebih dari 800 jiwa terpaksa mengungsi. Mereka berdesakan di posko darurat, tidur di atas matras tipis, selimut basah, dengan perut yang lapar dan mata yang masih menyimpan sisa tangis. Sebagian rumah terendam hingga 2,5 meter, cukup untuk membuat lemari hanyut, motor tenggelam, dan televisi mengapung seperti sampah elektronik. Yang selamat dari amukan air pun tetap kehilangan, kehilangan dapur, kehilangan ladang, kehilangan mimpi.
Kerusakan infrastruktur tak kalah pilu. Jalan utama Denpasar lumpuh, hanya truk yang mampu melintas. Akses bandara internasional terganggu, pariwisata macet. Hotel-hotel bergantung pada genset karena listrik mati, sementara air bersih lenyap. Rumah sakit pun terseok, berjuang menyelamatkan pasien dengan fasilitas darurat. Bali, yang biasanya jadi magnet miliaran dolar wisata, kini berlutut di hadapan air bah.
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan duka cita. Kata-kata itu memang manis, tapi apa arti duka cita ketika seorang anak harus menggenggam tubuh ibunya yang sudah tak bernyawa? Meski begitu, ia memerintahkan Kepala BNPB, Letjen Suharyanto, terbang ke Bali. 200 personel SAR pun dikerahkan, membawa perahu karet, pompa alkon, tenda, sembako, matras, selimut. Bantuan datang, tapi seperti tambalan kecil di luka raksasa: bisa menutup sejenak, tak bisa menyembuhkan.
Media asing menyebut, “Six dead in Bali floods,” seakan tragedi ini hanya headline singkat. Tapi di balik enam angka itu, ada ribuan cerita, seorang nenek yang tak sempat menyelamatkan perhiasan warisan, seorang pedagang yang kiosnya hanyut, seorang anak kecil yang kini hanya punya baju di badan. Banjir tak hanya merusak fisik, tapi juga merampas martabat.
Ironinya, banjir selalu jadi ritual tahunan. Kita seolah lupa bahwa tanah punya batas sabar. Hutan digunduli, sawah jadi beton, sungai dipersempit, lalu kita kaget ketika air membalas. Bali bukan cuma korban hujan deras, ia juga korban keserakahan manusia. Tapi, tentu, lebih mudah menyalahkan “cuaca ekstrem” ketimbang menyalahkan diri sendiri.
Kini, Bali berduka. Pulau yang selama ini dipuja dunia dengan tarian, pantai, dan pura, harus menangisi enam jasad, ratusan rumah, ribuan nasib. Air yang dulu jadi sumber hidup kini menjelma pembawa maut.
Pada akhirnya, tragedi ini bukan sekadar soal banjir. Ia adalah pengingat getir bahwa manusia tak pernah lebih besar dari alam. Air bisa kita alirkan, tapi tidak bisa kita perintah. Air bisa memberi hidup, tapi juga bisa merampasnya dalam sekejap.
Foto Ai, hanya ilustrasi.
Publisher : Krista#camanewak
Komentar0