TSriBSA8GfrlBSClGpMiGpYoGi==

Membedah Surat Kuasa Sutarmidji

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Tiba-tiba banyak kawan share Surat Kuasa Sutarmidji ke saya. “Ape maksod?” kata budak Pontianak. Mungkin mereka minta saya membedahnya, apa maksud di balik surat kuasa itu. Permisi para ahli hukum, saya mau membedahnya ala pisau bedah kang ngopi. Maaf kalau keliru. Siapkan kopi kita seruput sambil baca narasinya.

Surat Kuasa itu dipajang oleh Pa Midji di akun Facebooknya. Itu bukan sekadar lembaran kertas, tapi naskah drama hukum yang bisa bikin ahli pidana garuk-garuk kepala, sambil berkata, “Apakah ini seni bela diri atau seni belanja aset hibah?”

Pertama, mari kita lihat karakter suratnya. Ia dengan lantang menyatakan bukan pengakuan pidana, melainkan pernyataan bersyarat. Bahasa hukumnya mirip SMS mantan, “Aku gak salah, tapi kalau kamu anggap salah ya sudah, terserah.” Secara teori, ini bisa dibaca sebagai bentuk kooperatif, upaya menjaga transparansi, bahkan semacam bendera putih kecil di tengah badai penyidikan. Tapi hukum pidana bukanlah forum stand-up comedy, ia kaku, dingin, dan sekeras pasal-pasal yang tertulis hitam di atas putih. Artinya, meski surat ini tampak manis, ia tidak otomatis menghapus pertanggungjawaban pidana jika memang ada perbuatan melawan hukum.

Kedua, mari kita bicara soal potensi pidana. Jika aset yang tercantum dalam surat itu memang berasal dari dana hibah Yayasan Mujahidin, maka kita masuk ke wilayah klasik UU Tipikor, pasal 2 dan pasal 3 UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001. Pasal 2 tegas, siapa pun yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara, bisa dihukum. Pasal 3 lebih menusuk, siapa pun yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana karena jabatan, juga siap diseret. Jadi kalau hibah disalurkan tanpa prosedur sah, lalu aset pribadi mengembang dari situ, maka sekeras apapun kata “kooperatif” di surat kuasa, hukum tetap bisa mengunci pintu jeruji.

Ketiga, mari kita telusuri posisi surat kuasa ini dalam prosedur hukum. Ia memang tidak otomatis jadi bukti tunggal, tapi bisa masuk kategori alat bukti petunjuk menurut Pasal 188 KUHAP. Hakim bisa menganggap surat itu sebagai indikator itikad baik. Namun, ironi hukumnya adalah, apa yang ditulis sebagai niat terbuka bisa pula dibaca sebagai pengakuan implisit. Dengan kata lain, surat ini bisa jadi pelampung penyelamat, bisa juga jadi pemberat kaki di dasar laut penyidikan.

Keempat, soal risiko. Jika Kejati menemukan bahwa aset pribadi memang bersumber dari dana hibah Yayasan Mujahidin, surat kuasa ini tidak punya daya magis membatalkan unsur pidana. Sutarmidji tetap bisa dimintai pertanggungjawaban pidana, apalagi bila ia berperan dalam proses penganggaran atau pengesahan hibah. Bahkan, jika dana hibah itu sudah dicuci, alias disamarkan, dialihkan, atau dipoles seakan-akan halal, maka pintu tindak pidana pencucian uang (TPPU) juga terbuka lebar. Bayangkan, satu surat kuasa bisa berubah dari kertas administrasi menjadi tiket VIP masuk dua dunia, Tipikor dan TPPU.

Terakhir, strategi hukum. Ada yang membaca surat kuasa ini sebagai langkah preventif: menunjukkan keterbukaan, agar tidak dianggap menghalangi penyidikan. Bisa juga sebagai manuver politik hukum, semacam langkah catur di papan negara. Tetapi dalam filsafat hukum pidana, setiap langkah punya konsekuensi. Surat kuasa yang diniatkan sebagai tameng bisa berbalik jadi bumerang. Ia bisa tercatat sebagai bukti kooperatif yang meringankan, tapi juga bisa dianggap pengakuan implisit yang menjerat.

So, kita kembali pada pertanyaan epik, surat kuasa Sutarmidji ini apakah sekadar formalitas administrasi, atau justru sebuah artefak hukum yang akan dikenang sebagai titik balik dalam drama dana hibah? Sambil menunggu jawaban, mari kita teguk lagi kopi pahit ini, karena getir hukum kadang lebih pekat dari kopi pancong.

Publisher : Krista#camanewak

Komentar0

Type above and press Enter to search.