TSriBSA8GfrlBSClGpMiGpYoGi==

Pandanglah Demo Mahasiswa untuk Perubahan Bangsa








Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitor86.com

Kopi tanpa gula, tetap saya minum, wak. Karena, pahitnya membuat otak tetap encer dan waras. Lalu, apa tema hari ini, bang? Demo besar-besar digelar serentak hari ini. Mari kita kupas lebih dalam, kenapa mahasiswa harus demo?

Ada yang sinis. Ada yang menyebut aksi mahasiswa hanyalah “gaya-gayaan”. Bahkan, ada buzzer yang sibuk mendowngrade perjuangan mereka seolah-olah mahasiswa tak lebih dari anak muda salah jalan mencari eksistensi. Namun, cobalah pandang lebih jernih. Demo besar-besaran yang mengguncang jalanan bukan sekadar teriakan kosong. Itu adalah jeritan rakyat yang dititipkan melalui tenggorokan mahasiswa.

Suara rintihan rakyat selama ini memang hanya “didengar”, sekadar mampir di telinga penguasa lalu menguap begitu saja tanpa aksi nyata. Apa yang didapat rakyat jelata? Yang ada malah joget-joget para pejabat, sambil melontarkan lelucon pahit bahwa “guru dan dosen jadi beban”. Seakan rakyat bahan tertawaan, bukan pemilik sah republik.

Lihatlah data. Angka kemiskinan masih 9,36% atau 25 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Pengangguran terbuka mencapai 5,9% atau 8,2 juta orang. PHK massal sejak pandemi tak kunjung pulih, lebih dari 1,5 juta buruh kehilangan pekerjaan. Di desa-desa, petani menjerit, harga gabah rendah, pupuk langka, utang menumpuk. Nelayan pun meringis, karena harga solar lebih ganas dari ombak laut, membuat mereka tak sanggup melaut.

Lalu, hukum? Jangan ditanya. Korupsi merajalela, dari bansos, tambang, hingga proyek infrastruktur. Aparat hukum sering lebih mirip alat politik dari pengawal keadilan. Di pangkuan oligarki, hukum berubah jadi peliharaan manja, garang pada rakyat kecil, jinak pada pejabat berdasi.

Mahasiswa yang turun ke jalan tidak buta akan semua ini. Mereka bukan sekadar ingin eksis di televisi, bukan pula demi FYP di Tiktok. Mereka hadir agar para pengambil kebijakan tidak buta dan tuli pada kondisi rakyat jelata.

Lalu siapa yang paling ribut menolak demo mahasiswa? Jawabannya mudah. Mereka yang selama ini menikmati kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Mereka yang dininabobokan oleh fasilitas mewah negara, mobil dinas, rumah dinas, tunjangan fantastis. Mereka yang dimanja proyek-proyek miliaran yang disulap jadi ATM pribadi. Mereka yang bisnis haramnya, dari tambang ilegal sampai kartel pangan, terganggu oleh suara mahasiswa. Mereka yang privilese link ke istana membuatnya merasa seperti dewa kecil. Mereka yang sudah makmur karena mengeruk APBN, lalu tiba-tiba gelisah kalau kenyamanan korupsinya diguncang.

Mereka itulah yang paling alergi dengan demo mahasiswa. Karena bagi mereka, setiap teriakan mahasiswa adalah ancaman langsung pada rekening gendut, proyek haram, dan kursi empuk.

Ironinya, bukannya didengar, mahasiswa malah dituding anarkis. Presiden dalam pidatonya bahkan memilih kalimat “tembak yang anarkis” dari pada “dengar isi hati rakyat”. Seolah peluru lebih manjur dari dialog, seakan gas air mata lebih berguna daripada kebijakan adil.

Padahal sejarah sudah berulang kali mengajarkan, bangsa ini bisa berubah justru karena mahasiswa berani berdiri di garda depan. Dari 1966, 1998, hingga hari ini, denyut sejarah bangsa selalu berpacu dengan langkah kaki mahasiswa di jalanan.

Maka pandanglah demo mahasiswa bukan sebagai keributan musiman, melainkan sebagai upaya menjaga kewarasan bangsa. Kalau telinga istana sibuk mendengar tepuk tangan buzzer dan pengusaha hitam, biarlah mahasiswa menjadi pengeras suara rakyat. Sebab tanpa mahasiswa, republik ini hanya akan menjadi panggung sandiwara, di mana elit menari, buzzer bersorak, dan rakyat jelata dipaksa menonton dengan perut lapar.

Publisher : Krista#camanewak

Komentar0

Type above and press Enter to search.